Cari Blog Ini

Agustus 11, 2010

My dearest

Oh my dearest
I couldn’t forgot you
Remind me on your dream

My dearest…
Bring me on your life
Then, put on the dessert of heart

My dearest, oh my dearest…
Follow me on the heaven
Playing on the shadow
On your heart
v
Mks, July, 25th 2010

Lakon aktivis yang “mendua”

oleh : Nurkhalis IR

Jika sekiranya catatan sejarah gerakan mahasiswa dalam perjalanan bangsa ini disatukan menjadi sebuah buku maka, tentunya kita tak sampai membayangkan seperti apa tebal buku tersebut. Dengan kata lain mungkin saja sulit menderetkan sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia ini kedalam satu ruang dokumentasi yang otentik dan holistik, sebab yang ada hanyalah rekaman “rekaan sejarah” dari berbagai versi penafsiran sepihak, yang tentunya tergantung pada apa yang dibutuhkan “sepihak” itu dari hasil pemaknaanya terhadap sebuah sejarah dimasa lalu. Kalaupun diantara kita ada yang butuh dengan salah satu rekaan sejarah yang pernah ada, mungkin saja selanjutnya akan sulit lagi mempertarungkannya dengan kesadaran sejarah masyarakat kita hari ini.
Dewasa ini nyaris tak mungkin lagi kita akan mempertanyakan; siapa kita?, dari mana kita hadir?, mengapa hari ini kita “seperti ini”? dengan menempatkan “dokumen sejarah” sebagai sebuah entitas baku dimana proses penafsiran akan harus merujuk sepenuhnya. Sebab yang mungkin akan diperoleh dari situ adalah tidak jauh dari ketersesatan sebelumnya kita dalam memahami sejarah, khususnya dalam ranah gerakan mahasiswa. Kenyataan tersebut tanpa disadari justru telah berlangsung lama ditengah-tengah seluruh aspek kehidupan masyarakat negeri ini, yang kemudian men-kostruk mind set bangsa ini menjadi bangsa yang hanglose dan tak punya bentuk.
Tapi lihatlah kenyataan bahwa sampai hari ini masih banyak kalangan masyarakat kita yang menggantungkan penjelasan tentang dirinya dan realitas kebudayaannya dengan menjadikan sejarah seutuhnya sebagai rumus pencari dan pemberi jawaban yang tepat. Bukankah dengan demikian pada saatnya kini dan mungkin sampai nanti kita akan terus menjadi bangsa yang tersesat memaknai sejarah kebudayaannya sendiri, hingga meskipun bangsa lain telah sibuk berdebat soal strategi kebudayaan mutakhir diera sekarang, kita justru masih bertekuk pada persoalan-persoalan mendasar yang harusnya sudah sejak dulu terselesaikan. Ataukah mungkin juga kita memang tak pernah punya mozaik kebudayaan seperti yang umunya dimiliki Negara-negara di eropa dan amerika?.

Revolusi; sejarah mimpi, ataukah…
Sudah menjadi pengetahuan banyak kalangan sejak dahulu bahwa sejarah pergolakan mahasiswa dalam memotori perubahan sosial serta sistem-struktur dibeberapa Negara telah membawa implikasi besar dalam memacu perkembangan disegala sektor pembangunan. Pemerintah di Negara-negara semisal Jerman, kuba dan cina yang kini sudah tergolong sebagai Negara maju tentu tak bisa melepaskan catatan sejarah tentang peran mahasiswa dalam menggagas cita-cita perubahan di negerinya, meskipun juga patut diakui bahwa dewasa ini banyak kalangan aktivis mahasiswa yang tidak lagi terlalu merasa penting belajar pada sejarah kesuksesan pendahulunya.
Di indonesia kita juga mengenal banyak angkatan gerakan mahasiswa sejak tahun-tahun sebelum proklamasi kemerdekaan sampai sekarang. Setiap angkatan pada umumnya menegaskan eksistensi dan kontribusinya lewat peristiwa-peristiwa monumental yang hingga hari ini masih sering kali diperingati, sebutlah angkatan 66 dengan peristiwa G/30/S/PKI, peristiwa malari, reformasi 98 dan sebagainya. Hanya saja bangsa ini tidak memiliki konsep pemahaman yang mapan dalam memaknai sejarah, oleh sebab itu kini cita-cita perubahan yang mendasar pada negeri ini tidak lebih dari semacam nostalgia tentang hari esok. Menjual mimpi yang tak terbeli.
Kita tak bisa berkelit bahwa dewasa ini masyarakat memang lebih cenderung memaknai sejarah diatas dengan trauma berlebihan pada konsekuensi fatal yang telah terjadi, kenyataannya kita menjadi ciut dan penakut. Trauma yang berlebihan juga menjadikan bangsa ini tak segan-segan berkhianat pada hati nuraninya sendiri, berbohong pada apa yang dikatakan naluri kemanusiaannya. Dengan itu kita (mahasiswa) nyaris tak mungkin bisa melacak keberhasilan gerakan intelektualnya untuk bangsa ini dimasa depan, rupa mental bangsa ini telah berubah menjadi gergasi pembohong, penghianat, pelacur dan bebal. Disisi lain bangsa ini juga telah membangun sikap over pesimistik yang menjadikan nalar berpikir kita buntu, membunuh mimpi-mimpi besar akan tercapainya revolusi suatu hari nanti yang tidak lama lagi.
Singkatnya, kesadaran kedirian dan keyakinan kita pada spirit serta upaya yang lebih progresif merubah realitas berbangsa dan bernegara kini telah tercerabut dari diri kita semua. Halayak bangsa ini telah berubah paradigma menjadi luar biasa pragmatisnya, menjamurlah kemudian kini mahasiswa dan atau aktivis-aktivis organik dengan seribu macam kemunafikannya, yang berteriak lantang akan memperjuangkan agenda perlawanan terhadap penindasan dan pembodohan ketika berada dihadapan masyarakat lemah, tapi ditempat lain, dihadapan setumpuk rupiah dan tawaran sederet jabatan strategis oleh penguasa, mereka justru membelah diri menjadi pengkhianat yang berbalik arah.
Realitas yang demikian tentu bukan lagi hal yang sulit ditemui, simaklah para legislator kita misalnya, ataukah para pemimpin-pemimpin dan elite negara yang dahulunya pernah keras melawan rezim penguasa tiran, tapi ketika duduk dikursi dewan atau kursi kekuasaan lainnya, mereka bahkan lebih sadis menghianati rakyatnya yang lemah. Menarik mengutip pernyataan salah seorang sastrawan negeri ini yang mengatakan bahwa “perjuangan kita hari ini adalah perjuangan melawan lupa”, yang dimaksudkan tentunya adalah lupa pada banyak hal; lupa pada janji-janji saat mungkin berkampanye ditengah rakyat, lupa pada asal muasal diri kita yang nantinya jua pasti akan kembali kesana, lupa pada situasi disekitar, dan masih banyak lagi bentuk lupa yang hampir seluruhnya adalah tidak baik jika terjadi pada siapapun. Terlebih lagi jika lupa yang disengaja, haram hukumnya.
Fenomena venalitas yang dewasa ini banyak dilakoni eks aktivis (mahasiswa) telah menjadi fakta konkrit betapa rusaknya mental bangsa ini, serta betapa tak segan-segannya idealisme kita “mendua” hanya karena alasan-alasan murahan seperti materi dan kekuasaan. Dan yang tak kalah mengerikannya karena posisi mahasiswa dan atau aktivis yang dikultuskan sebagai social control tetap tersemat sampai hari ini, hingga ruang sosial masyarkat menjadi latah pada realitas buruk yang ada pada kalangan tersebut. Inilah mungkin yang diramalkan prof. Nadjamuddin alm (mantan dosen UH) sekitar awal tahun 2000 silam bahwa suatu hari nanti yang beliau sendiri tak tau kapan tepatnya, akan terjadi kebiadaban kolektif dinegeri ini.
Ditambahkannya lagi bahwa ketika saat itu telah berlangsung maka tanah air Indonesia ini harus ”dicuci dengan darah” jika ingin baik selanjutnya, entah mungkin memang haruskan demikian adanya?, sejarah kini sepertinya tak lagi sudi dimintai jawaban untuk itu. Bukankah lakon “mendua” yang selama ini kita perankan adalah sebuah bentuk penodaan terhadap sejarah pergolakan para pendahulu yang digagas dengan spirit kesatuan kata dan gerak, tidak seperti kita yang selalu menganggap remeh sebuah ketidakjujuran dan penghianatan. Andakah?

PERBEDAAN TEORI PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN DAN PERSEPSI MANUSIA SIGMUND FREUD DAN ERIK ERICKSON

Persepsi Tentang Manusia menurut Sigmund Freud
Persepsi tentang sifat manusia:

Menurut Sigmund Freud, perilaku manusia itu ditentukan oleh kekuatan irrasional yang tidak disadari dari dorongan biologis dan dorongan naluri psikoseksual tertentu pada masa enam tahun pertama dalam kehidupannya. Pandangan ini menunjukkan bahwa aliran teori Freud tentang sifat manusia pada dasarnya adalah deterministik.
Ajaran psikoanalisis menyatakan bahwa perilaku seseorang itu lebih rumit dari pada apa yang dibayangkan pada orang tersebut.
Di sini, Freud memberikan indikasi bahwa tantangan terbesar yang dihadapi manusia adalah bagaimana mengendalikan dorongan agresif itu. Bagi Sigmund Freud, rasa resah dan cemas seseorang itu ada hubungannya dengan kenyataan bahwa mereka tahu umat manusia itu akan punah.
kesadaran itu merupakan suatu bagian terkecil atau tipis dari keseluruhan pikiran manusia. Hal ini dapat diibaratkan seperti gunung es yang ada di bawah permukaan laut, dimana bongkahan es itu lebih besar di dalam ketimbang yang terlihat di permukaan. Demikianlah juga halnya dengan kepribadian manusia, semua pengalaman dan memori yang tertekan akan dihimpun dalam alam ketidaksadaran.

Teori Perkembangan Kepribadian menurut Sigmund Freud

Perkembangan kepribadian:Perkembangan manusia dalam psikoanalitik merupakan suatu gambaran yang sangat teliti dari proses perkembangan psikososial dan psikoseksual, mulai dari lahir sampai dewasa. Dalam teori Freud setiap manusia harus melewati serangkaian tahap perkembangan dalam proses menjadi dewasa. Tahap-tahap ini sangat penting bagi pembentukan sifat-sifat kepribadian yang bersifat menetap.

Perkembangan Psikoseksual :

Menurut Sigmund Freud (1856-1939) Fase-fase perkembangan individu didorong oleh energi psikis yang disebut libido.
Libido ini merupakan energi psikis yang bersifat sexual(dorongan kehidupan yang sudah ada sejak bayi). Setiap tahap perkembangan ditandai dengan berfungsinya dorongan-dorongan tersebut pada daerah tubuh tertentu. Freud membagi perkembangan manusia menjadi 5 fase :

1. Fase Oral (0-1tahun)
Anak memperoleh kepuasan dan kenikmatan yang bersumber pada mulutnya.
Hubungan sosial lebih bersifat fisik, seperti makan atau minum susu. Objek sosial terdekat adalah ibu, terutama saat menyusu. Bila anak tidak menyusu pada ibunya, ia memperoleh kepuasan oral dengan memasukkan jari-jari tangannya ke mulut.
2. Fase Anal (1-3tahun)
Pada fase ini pusat kenikmatannya terletak di anus, terutama saat buang air besar. Inilah saat yang paling tepat untuk mengajarkan disiplin pada anak termasuk toilet training. Pada masa ini anak sudah menjadi individu yang mampu bertanggung jawab atas beberapa kegiatan tertentu.
3. Fase Falik (3-5 tahun)
Anak memindahkan pust kenikmatannya pada daerah kelamin. Anak mulai tertarik dengan perbedaan anatomis antara laki-laki dan perempuan. Pada anak laki-laki kedekatan dengan ibunya menimbulkan gairah sexual perasaan cinta yang disebut Oedipus Complex. Sedangkan pada anak perempuan disebut Electra Complex. Tetapi perasaan ini terhalang dengan adanya tokoh ayah bagi anak laki-laki dan tokoh ibu bagi anak perempuan. Kompleks ini kemudian diikuti oleh kecemasan kastrasi (takut dipotong alat kelaminnya) sehingga menimbulkan perilaku menurut dan meniru tindak tanduk saingannya. Konflik ini terpecahkan saat anak sudah menerima, menyukai, dan mengagumi saingannya sehingga menjadi model dari perilakunya (ego ideal).
4. Fase Laten (5-12 tahun)
Ini adalah masa tenang, walau anak mengalami perkembangan pesat pada aspek motorik dan kognitif. Kecemasan dan ketakutan yang timbul pada masa-masa sebelumnya ditekan (repressed).Anak laki-laki lebih banyak bergaul dengan teman sejenis begitu pula dengan wanita Oleh karena itu, fase ini disebut juga sebagai fase homoseksual alamiah. Anak mencari figure ideal diantara orang dewasa berjenis kelamin sama dengannya
5. Fase Genital (12 tahun ke atas)
Ala-alat reproduksi sudah mulai masak, pusat kepuasannya berada pada daerah kelamin. Energi psikis (libido) diarahkan untuk hubungan-hubungan heteroseksual. Rasa cintanya pada anggota keluarga dialihkan pada orang lain yang berlawan jenis. Pengalaman-pengalaman di masa lalu menjadi bekal amat berpengaruh pada remaja yang sedang menapak ke dunia karir dan dunia rumahtangga.



Persepsi Tentang Manusia menurut Erick Erickson

Bagi Erikson, dinamika kepribadian selalu diwujudkan sebagai hasil interaksi antara kebutuhan dasar biologis dan pengungkapannya sebagai tindakan-tindakan sosial. Tampak dengan jelas bahwa yang dimaksudkan dengan psikososial apabila istilah ini dipakai dalam kaitannya dengan perkembangan.
tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi matang secara fisik dan psikologis.
Erikson membuat sebuah bagan untuk mengurutkan delapan tahap secara terpisah mengenai perkembangan ego dalam psikososial, yang biasa dikenal dengan istilah “delapan tahap perkembangan manusia” berdalil bahwa setiap tahap menghasilkan epigenetic.
Gambaran dari perkembangan cermin mengenai ide dalam setiap tahap lingkaran kehidupan sangat berkaitan dengan waktu, yang mana hal ini sangat dominan dan karena itu muncul dan akan selalu terjadi pada setiap tahap perkembangan hingga berakhir pada tahap dewasa, secara keseluruhan akan adanya fungsi/kegunaan kepribadian dari setiap tahap itu sendiri. Selanjutnya, Erikson berpendapat bahwa tiap tahap psikososial juga disertai oleh krisis. Perbedaan dalam setiap komponen kepribadian yang ada didalam tiap-tiap krisis adalah sebuah masalah yang harus dipecahkan/diselesaikan.
Menurut Erikson delapan tahap perkembangan yang ada berlangsung dalam jangka waktu yang teratur maupun secara hirarkri, akan tetapi jika dalam tahap sebelumnya seseorang mengalami ketidakseimbangan seperti yang diinginkan maka pada tahap sesudahnya dapat berlangsung kembali guna memperbaikinya.

Teori Perkembangan Kepribadian menurut Erik Erickson.

Erikson dalam teorinya mengatakan :
1. Pada dasarnya setiap perkembangan dalam kepribadian manusia mengalami keserasian dari tahap-tahap yang telah ditetapkan sehingga pertumbuhan pada tiap individu dapat dilihat/dibaca untuk mendorong, mengetahui, dan untuk saling mempengaruhi, dalam radius soial yang lebih luas.
2. Masyarakat, pada prinsipnya, juga merupakan salah satu unsur untuk memelihara saat setiap individu yang baru memasuki lingkungan tersebut guna berinteraksi dan berusaha menjaga serta untuk mendorong secara tepat berdasarkan dari perpindahan didalam tahap-tahap yang ada.

Adapun tingkatan dalam delapan tahap perkembangan yang dilalui oleh setiap manusia menurut Erikson adalah sebagai berikut :
1. Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan)
Tahap ini berlangsung pada masa oral, kira-kira terjadi pada umur 0-1 atau 1 ½ tahun. Tugas yang harus dijalani pada tahap ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan. Kepercayaan ini akan terbina dengan baik apabila dorongan oralis pada bayi terpuaskan, misalnya untuk tidur dengan tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan tepat waktu, serta dapat membuang kotoron (eliminsi) dengan sepuasnya. Oleh sebab itu, pada tahap ini ibu memiliki peranan yang secara kwalitatif sangat menentukan perkembangan kepribadian anaknya yang masih kecil. Apabila seorang ibu bisa memberikan rasa hangat dan dekat, konsistensi dan kontinuitas kepada bayi mereka, maka bayi itu akan mengembangkan perasaan dengan menganggap dunia khususnya dunia sosial sebagai suatu tempat yang aman untuk didiami, bahwa orang-orang yang ada didalamnya dapat dipercaya dan saling menyayangi. Kepuasaan yang dirasakan oleh seorang bayi terhadap sikap yang diberikan oleh ibunya akan menimbulkan rasa aman, dicintai, dan terlindungi. Melalui pengalaman dengan orang dewasa tersebut bayi belajar untuk mengantungkan diri dan percaya kepada mereka. Hasil dari adanya kepercayaan berupa kemampuan mempercayai lingkungan dan dirinya serta juga mempercayai kapasitas tubuhnya dalam berespon secara tepat terhadap lingkungannya.
Sebaliknya, jika seorang ibu tidak dapat memberikan kepuasan kepada bayinya, dan tidak dapat memberikan rasa hangat dan nyaman atau jika ada hal-hal lain yang membuat ibunya berpaling dari kebutuhan-kebutuhannya demi memenuhi keinginan mereka sendiri, maka bayi akan lebih mengembangkan rasa tidak percaya, dan dia akan selalu curiga kepada orang lain.

2. Otonomi vs Perasaan Malu dan Ragu-ragu
Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-mascular stages), masa ini biasanya disebut masa balita yang berlangsung mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun. Tugas yang harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu. Apabila dalam menjalin suatu relasi antara anak dan orangtuanya terdapat suatu sikap/tindakan yang baik, maka dapat menghasilkan suatu kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang tua dalam mengasuh anaknya bersikap salah, maka anak dalam perkembangannya akan mengalami sikap malu dan ragu-ragu. Dengan kata lain, ketika orang tua dalam mengasuh anaknya sangat memperhatikan anaknya dalam aspek-aspek tertentu misalnya mengizinkan seorang anak yang menginjak usia balita untuk dapat mengeksplorasikan dan mengubah lingkungannya, anak tersebut akan bisa mengembangkan rasa mandiri atau ketidaktergantungan.
Pada usia ini menurut Erikson bayi mulai belajar untuk mengontrol tubuhnya, sehingga melalui masa ini akan nampak suatu usaha atau perjuangan anak terhadap pengalaman-pengalaman baru yang berorientasi pada suatu tindakan/kegiatan yang dapat menyebabkan adanya sikap untuk mengontrol diri sendiri dan juga untuk menerima control dari orang lain. Misalnya, saat anak belajar berjalan, memegang tangan orang lain, memeluk, maupun untuk menyentuh benda-benda lain.
Di lain pihak, anak dalam perkembangannya pun dapat menjadi pemalu dan ragu-ragu. Jikalau orang tua terlalu membatasi ruang gerak/eksplorasi lingkungan dan kemandirian, sehingga anak akan mudah menyerah karena menganggap dirinya tidak mampu atau tidak seharusnya bertindak sendirian.

3. Inisiatif vs Kesalahan
Tahap ketiga adalah tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3 sampai 5 atau 6 tahun, dan tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan. Masa-masa bermain merupakan masa di mana seorang anak ingin belajar dan mampu belajar terhadap tantangan dunia luar, serta mempelajari kemampuan-kemampuan baru juga merasa memiliki tujuan. Dikarenakan sikap inisiatif merupakan usaha untuk menjadikan sesuatu yang belum nyata menjadi nyata, sehingga pada usia ini orang tua dapat mengasuh anaknya dengan cara mendorong anak untuk mewujudkan gagasan dan ide-idenya. Akan tetapi, semuanya akan terbalik apabila tujuan dari anak pada masa genital ini mengalami hambatan karena dapat mengembangkan suatu sifat yang berdampak kurang baik bagi dirinya yaitu merasa berdosa dan pada klimaksnya mereka seringkali akan merasa bersalah atau malah akan mengembangkan sikap menyalahkan diri sendiri atas apa yang mereka rasakan dan lakukan.
Ketidakpedulian (ruthlessness) merupakan hasil dari maladaptif yang keliru, hal ini terjadi saat anak memiliki sikap inisiatif yang berlebihan namun juga terlalu minim. Orang yang memiliki sikap inisiatif sangat pandai mengelolanya, yaitu apabila mereka mempunyai suatu rencana baik itu mengenai sekolah, cinta, atau karir mereka tidak peduli terhadap pendapat orang lain dan jika ada yang menghalangi rencananya apa dan siapa pun yang harus dilewati dan disingkirkan demi mencapai tujuannya itu. Akan tetapi bila anak saat berada pada periode mengalami pola asuh yang salah yang menyebabkan anak selalu merasa bersalah akan mengalami malignansi yaitu akan sering berdiam diri (inhibition). Berdiam diri merupakan suatu sifat yang tidak memperlihatkan suatu usaha untuk mencoba melakukan apa-apa, sehingga dengan berbuat seperti itu mereka akan merasa terhindar dari suatu kesalahan.
Kecenderungan atau krisis antara keduanya dapat diseimbangkan, maka akan lahir suatu kemampuan psikososial adalah tujuan (purpose). Selain itu, ritualisasi yang terjadi pada masa ini adalah masa dramatik dan impersonasi. Dramatik dalam pengertiannya dipahami sebagai suatu interaksi yang terjadi pada seorang anak dengan memakai fantasinya sendiri untuk berperan menjadi seseorang yang berani. Sedangkan impersonasi dalam pengertiannya adalah suatu fantasi yang dilakukan oleh seorang anak namun tidak berdasarkan kepribadiannya. Oleh karena itu, rangakain kata yang tepat untuk menggambarkan masa ini pada akhirnya bahwa keberanian, kemampuan untuk bertindak tidak terlepas dari kesadaran dan pemahaman mengenai keterbatasan dan kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya.

4. Kerajinan vs Inferioritas
Tahap keempat adalah tahap laten yang terjadi pada usia sekolah dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Salah satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah adalah dengan mengembangkan kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan rasa rendah diri. Saat anak-anak berada tingkatan ini area sosialnya bertambah luas dari lingkungan keluarga merambah sampai ke sekolah, sehingga semua aspek memiliki peran, misalnya orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian, teman harus menerima kehadirannya, dan lain sebagainya.
Tingkatan ini menunjukkan adanya pengembangan anak terhadap rencana yang pada awalnya hanya sebuah fantasi semata, namun berkembang seiring bertambahnya usia bahwa rencana yang ada harus dapat diwujudkan yaitu untuk dapat berhasil dalam belajar. Anak pada usia ini dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya berhasil, apakah itu di sekolah atau ditempat bermain. Melalui tuntutan tersebut anak dapat mengembangkan suatu sikap rajin. Berbeda kalau anak tidak dapat meraih sukses karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas), sehingga anak juga dapat mengembangkan sikap rendah diri. Oleh sebab itu, peranan orang tua maupun guru sangatlah penting untuk memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak pada usia seperti ini.
Kegagalan di bangku sekolah yang dialami oleh anak-anak pada umumnya menimpa anak-anak yang cenderung lebih banyak bermain bersama teman-teman dari pada belajar, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari peranan orang tua maupun guru dalam mengontrol mereka. Kecenderungan maladaptif akan tercermin apabila anak memiliki rasa giat dan rajin terlalu besar yang mana peristiwa ini menurut Erikson disebut sebagai keahlian sempit. Di sisi lain jika anak kurang memiliki rasa giat dan rajin maka akan tercermin malignansi yang disebut dengan kelembaman. Mereka yang mengidap sifat ini oleh Alfred Adler disebut dengan “masalah-masalah inferioritas”.
Maksud dari pengertian tersebut yaitu jika seseorang tidak berhasil pada usaha pertama, maka jangan mencoba lagi. Usaha yang sangat baik dalam tahap ini sama seperti tahap-tahap sebelumnya adalah dengan menyeimbangkan kedua karateristik yang ada, dengan begitu ada nilai positif yang dapat dipetik dan dikembangkan dalam diri setiap pribadi yakni kompetensi.
Dalam lingkungan yang ada pola perilaku yang dipelajari pun berbeda dari tahap sebelumnya, anak diharapkan mampu untuk mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara maupun metode yang standar, sehingga anak tidak terpaku pada aturan yang berlaku dan bersifat kaku. Peristiwa tersebut biasanya dikenal dengan istilah formal. Sedangkan pada pihak lain jikalau anak mampu mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara atau metode yang sesuai dengan aturan yang ditentukan untuk memperoleh hasil yang sempurna, maka anak akan memiliki sikap kaku dan hidupnya sangat terpaku pada aturan yang berlaku. Hal inilah yang dapat menyebabkan relasi dengan orang lain menjadi terhambat. Peristiwa ini biasanya dikenal dengan istilah formalism.

5. Identitas vs Kekacauan Identitas
Tahap kelima merupakan tahap adolesen (remaja), yang dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Pencapaian identitas pribadi dan menghindari peran ganda merupakan bagian dari tugas yang harus dilakukan dalam tahap ini. Menurut Erikson masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan penting, karena melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego, dalam pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat. Lingkungan dalam tahap ini semakin luas tidak hanya berada dalam area keluarga, sekolah namun dengan masyarakat yang ada dalam lingkungannya.
Masa pubertas terjadi pada tahap ini, kalau pada tahap sebelumnya seseorang dapat menapakinya dengan baik maka segenap identifikasi di masa kanak-kanak diintrogasikan dengan peranan sosial secara aku, sehingga pada tahap ini mereka sudah dapat melihat dan mengembangkan suatu sikap yang baik dalam segi kecocokan antara isi dan dirinya bagi orang lain, selain itu juga anak pada jenjang ini dapat merasakan bahwa mereka sudah menjadi bagian dalam kehidupan orang lain. Semuanya itu terjadi karena mereka sudah dapat menemukan siapakah dirinya. Identitas ego merupakan kulminasi nilai-nilai ego sebelumnya yang merupakan ego sintesis. Dalam arti kata yang lain pencarian identitas ego telah dijalani sejak berada dalam tahap pertama/bayi sampai seseorang berada pada tahap terakhir/tua. Oleh karena itu, salah satu point yang perlu diperhatikan yaitu apabila tahap-tahap sebelumnya berjalan kurang lancar atau tidak berlangsung secara baik, disebabkan anak tidak mengetahui dan memahami siapa dirinya yang sebenarnya ditengah-tengah pergaulan dan struktur sosialnya, inilah yang disebut dengan identity confusion atau kekacauan identitas.
Akan tetapi di sisi lain jika kecenderungan identitas ego lebih kuat dibandingkan dengan kekacauan identitas, maka mereka tidak menyisakan sedikit ruang toleransi terhadap masyarakat yang bersama hidup dalam lingkungannya. Erikson menyebut maladaptif ini dengan sebutan fanatisisme. Orang yang berada dalam sifat fanatisisme ini menganggap bahwa pemikiran, cara maupun jalannyalah yang terbaik. Sebaliknya, jika kekacauan identitas lebih kuat dibandingkan dengan identitas ego maka Erikson menyebut malignansi ini dengan sebutan pengingkaran. Orang yang memiliki sifat ini mengingkari keanggotaannya di dunia orang dewasa atau masyarakat akibatnya mereka akan mencari identitas di tempat lain yang merupakan bagian dari kelompok yang menyingkir dari tuntutan sosial yang mengikat serta mau menerima dan mengakui mereka sebagai bagian dalam kelompoknya.
Kesetiaan akan diperoleh sebagi nilai positif yang dapat dipetik dalam tahap ini, jikalau antara identitas ego dan kekacauan identitas dapat berlangsung secara seimbang, yang mana kesetiaan memiliki makna tersendiri yaitu kemampuan hidup berdasarkan standar yang berlaku di tengah masyarakat terlepas dari segala kekurangan, kelemahan, dan ketidakkonsistennya. Ritualisasi yang nampak dalam tahap adolesen ini dapat menumbuhkan ediologi dan totalisme.

6. Keintiman vs Isolasi
Tahap pertama hingga tahap kelima sudah dilalui, maka setiap individu akan memasuki jenjang berikutnya yaitu pada masa dewasa awal yang berusia sekitar 20-30 tahun. Jenjang ini menurut Erikson adalah ingin mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar dari sikap menyendiri. Periode diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang lain yang biasanya disebut dengan istilah pacaran guna memperlihatkan dan mencapai kelekatan dan kedekatan dengan orang lain. Di mana muatan pemahaman dalam kedekatan dengan orang lain mengandung arti adanya kerja sama yang terjalin dengan orang lain. Akan tetapi, peristiwa ini akan memiliki pengaruh yang berbeda apabila seseorang dalam tahap ini tidak mempunyai kemampuan untuk menjalin relasi dengan orang lain secara baik sehingga akan tumbuh sifat merasa terisolasi. Erikson menyebut adanya kecenderungan maladaptif yang muncul dalam periode ini ialah rasa cuek, di mana seseorang sudah merasa terlalu bebas, sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati tanpa memperdulikan dan merasa tergantung pada segala bentuk hubungan misalnya dalam hubungan dengan sahabat, tetangga, bahkan dengan orang yang kita cintai/kekasih sekalipun. Sementara dari segi lain/malignansi Erikson menyebutnya dengan keterkucilan, yaitu kecenderungan orang untuk mengisolasi/menutup diri sendiri dari cinta, persahabatan dan masyarakat, selain itu dapat juga muncul rasa benci dan dendam sebagai bentuk dari kesendirian dan kesepian yang dirasakan.
Oleh sebab itu, kecenderungan antara keintiman dan isoalasi harus berjalan dengan seimbang guna memperoleh nilai yang positif yaitu cinta. Dalam konteks teorinya, cinta berarti kemampuan untuk mengenyampingkan segala bentuk perbedaan dan keangkuhan lewat rasa saling membutuhkan. Wilayah cinta yang dimaksudkan di sini tidak hanya mencakup hubungan dengan kekasih namun juga hubungan dengan orang tua, tetangga, sahabat, dan lain-lain.
Ritualisasi yang terjadi pada tahan ini yaitu adanya afiliasi dan elitisme. Afilisiasi menunjukkan suatu sikap yang baik dengan mencerminkan sikap untuk mempertahankan cinta yang dibangun dengan sahabat, kekasih, dan lain-lain. Sedangkan elitisme menunjukkan sikap yang kurang terbuka dan selalu menaruh curiga terhadap orang lain.

7. Generativitas vs Stagnasi
Masa dewasa (dewasa tengah) berada pada posisi ke tujuh, dan ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 30 sampai 60 tahun. Apabila pada tahap pertama sampai dengan tahap ke enam terdapat tugas untuk dicapai, demikian pula pada masa ini dan salah satu tugas untuk dicapai ialah dapat mengabdikan diri guna keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu (generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa (stagnasi). Generativitas adalah perluasan cinta ke masa depan. Sifat ini adalah kepedulian terhadap generasi yang akan datang. Melalui generativitas akan dapat dicerminkan sikap memperdulikan orang lain. Pemahaman ini sangat jauh berbeda dengan arti kata stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri sendiri dan sikap yang dapat digambarkan dalam stagnasi ini adalah tidak perduli terhadap siapapun.
Maladaptif yang kuat akan menimbulkan sikap terlalu peduli, sehingga mereka tidak punya waktu untuk mengurus diri sendiri. Selain itu malignansi yang ada adalah penolakan, di mana seseorang tidak dapat berperan secara baik dalam lingkungan kehidupannya akibat dari semua itu kehadirannya ditengah-tengah area kehiduannya kurang mendapat sambutan yang baik.
Harapan yang ingin dicapai pada masa ini yaitu terjadinya keseimbangan antara generativitas dan stagnansi guna mendapatkan nilai positif yang dapat dipetik yaitu kepedulian. Ritualisasi dalam tahap ini meliputi generasional dan otoritisme. Generasional ialah suatu interaksi/hubungan yang terjalin secara baik dan menyenangkan antara orang-orang yang berada pada usia dewasa dengan para penerusnya. Sedangkan otoritisme yaitu apabila orang dewasa merasa memiliki kemampuan yang lebih berdasarkan pengalaman yang mereka alami serta memberikan segala peraturan yang ada untuk dilaksanakan secara memaksa, sehingga hubungan diantara orang dewasa dan penerusnya tidak akan berlangsung dengan baik dan menyenangkan.

8. Integritas vs Keputusasaan
Tahap terakhir dalam teorinya Erikson disebut tahap usia senja yang diduduki oleh orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65 ke atas. Dalam teori Erikson, orang yang sampai pada tahap ini berarti sudah cukup berhasil melewati tahap-tahap sebelumnya dan yang menjadi tugas pada usia senja ini adalah integritas dan berupaya menghilangkan putus asa dan kekecewaan. Tahap ini merupakan tahap yang sulit dilewati menurut pemandangan sebagian orang dikarenakan mereka sudah merasa terasing dari lingkungan kehidupannya, karena orang pada usia senja dianggap tidak dapat berbuat apa-apa lagi atau tidak berguna. Kesulitan tersebut dapat diatasi jika di dalam diri orang yang berada pada tahap paling tinggi dalam teori Erikson terdapat integritas yang memiliki arti tersendiri yakni menerima hidup dan oleh karena itu juga berarti menerima akhir dari hidup itu sendiri. Namun, sikap ini akan bertolak belakang jika didalam diri mereka tidak terdapat integritas yang mana sikap terhadap datangnya kecemasan akan terlihat. Kecenderungan terjadinya integritas lebih kuat dibandingkan dengan kecemasan dapat menyebabkan maladaptif yang biasa disebut Erikson berandai-andai, sementara mereka tidak mau menghadapi kesulitan dan kenyataan di masa tua. Sebaliknya, jika kecenderungan kecemasan lebih kuat dibandingkan dengan integritas maupun secara malignansi yang disebut dengan sikap menggerutu, yang diartikan Erikson sebagai sikap sumaph serapah dan menyesali kehidupan sendiri.
Oleh karena itu, keseimbangan antara integritas dan kecemasan itulah yang ingin dicapai dalam masa usia senja guna memperoleh suatu sikap kebijaksanaan.

Drama dan Perkembangannya

oleh : Theresia Ninung P.

Drama adalah karya sastra yang ditulis untuk dipentaskan. Orang seringkali bingung membedakan antara drama, yang berkaitan dengan teks tertulis, atau naskah, atau script, untuk pementasan, dengan teater, yang menyangkut pementasan naskah drama atau script tersebut. Banyak sekali karya sastra terkenal, berpengaruh besar, serta bergengsi, ditulis dalam bentuk drama. Mulai dari tragedi-tragedi Yunani tentang Aeschylus, Sopochles, dan Euripides dan berkembang terus hingga drama-drama besar karya William Shakespeare dari Inggris, Moliere dari Perancis, Johan Wolfgang von Goethe dari Jerman, Henrik Ibsen dari Norwegia, dan August Strindberg dari Swedia. Di Barat, penghargaan terhadap drama begitu tinggi. Dalam perkembangannya drama semakin mendapat tempat karena naskah-naskah tidak lagi hanya dipentaskan di panggung seperti Broadway, tetapi juga diangkat ke layar kaca atau layar lebar. Dengan semakin canggihnya perfilman, para penulis drama atau script film mendapat penghargaan yang tinggi pula karena sehebat apapun sebuah film, pada mulanya dia adalah sebuah screenplay atau script yang digarap sedemikian rupa oleh seorang sutradara beserta seluruh crew pembuat film (film maker). Jadi sebuah film dibuat oleh banyak orang, mulai dari penulis naskah dramanya (script writer), produser, sutradara, kameraman, hingga sopir yang membantu team pergi syuting ke sana kemari.
Ciri-ciri Drama
Kebanyakan karya sastra, termasuk novel, cerpen, puisi, sengaja ditulis untuk disuguhkan sebagai bacaan, baik untuk dibaca dalam hati maupun sambil menyendiri. Meskipun drama bisa juga dibaca dengan cara seperti itu, namun pada dasarnya drama ditulis untuk dipentaskan di hadapan pemirsa atau di hadapan umum oleh sekelompok pemain yang masing-masing berpura-pura menjadi salah satu tokoh yang ada dalam cerita drama itu. Drama-drama yang lebih kuno lagi, misalnya yang ditulis oleh sastrawan-sastrawan Yunani atau oleh William Shakespeare, berisi kata-kata yang diucapkan oleh para pemerannya itu, yang biasa kita kenal sebagai dialog (dialogue). Drama-drama yang lebih modern atau kontemporer tidak hanya berisi materi yang harus diucapkan saja tapi juga menyertakan stage directions yang memberi tahu para aktor dan aktrisnya kapan mereka musti memasuki atau meninggalkan ruang pementasan atau panggung. Drama modern juga memberi saran-saran atau anjuran bagaimana sebaiknya dialog atau baris-barisnya diucapkan, dan menjelaskan kostum apa yang mesti dikenakan serta keadaan lingkungan sekitar (setting) seperti apa yang sebaiknya mendukung drama itu.
Filsuf Yunani terkenal, Aristoteles, yang meletakkan dasar kritik atau studi drama, mengungkapkan teori bahwa drama terdiri atas beberapa elemen dasar berupa plot atau alur, karakter, pikiran, bahasa, dan spektakel. Aristotle menganggap plot—cerita pokok dan bagaimana menceritakannya—adalah elemen yang paling penting diantara elemen-elemen lainnya itu, dan biasanya memang demikian. Meski begitu, bisa dikata, sampai tahap tertentu, hampir semua drama menggunakan elemen-elemen lainnya juga, dan mengungkapkan cerita dengan cara menginteraksikan para tokohnya, yang mengekspresikan pikiran melalui medium bahasa dalam setting visual yang khusus. Bagaimanapun, keseimbangan atau keserasian paduan elemen-elemen tersebut sangat bervariasi tergantung drama macam apa yang diinginkan. Selama beberapa periode dan dalam beberapa tradisi, banyak atau kebanyakan drama menekankan pada elemen lain kecuali plot. Ada beberapa drama yang memfokuskan karakater tertentu atau hubungan antara tokoh-tokoh tertentu, misalnya drama Shakespeare yang berjudul Hamlet (1601?). Drama-drama seperti itu bisa begitu populer karena para pemirsa atau audiens-nya selalu penasaran dan tertarik melihat aktor-aktor atau aktris-aktris favorit mereka menginterpretasikan peran yang begitu penting dan sulit.
Teater Barat juga sudah lama memiliki tradisi menekankan pada pemikiran atau thought. Drama-drama seperti itu kadang memperlakukan tema tertentu dengan sangat khusus dan sering disebut drama filosofis atau thesis plays. Beberapa penulis besar drama modern yang menekankan pada tema atau pemikiran tertentu antara lain George Bernard Shaw dari Inggris atau Ibsen, yang mengetengahkan masalah-masalah sosial pada jamannya, dan Bertolt Brecht dari Jerman, yang drama-dramanya mengkritik Kapitalisme dan membujuk audiens memihak pandangan politiknya yang berbau "kiri" itu.
Bahasa selalu penting dalam drama, dan kadang merupakan elemen yang sangat dominan. Misalnya, penekanan bahasa pada drama liris yang ditulis para penulis drama Romantik Inggris pada awal abad ke-19 dan drama-drama yang dijuluki komedi tingkat tinggi atau comedy of manners, yang banyak bermunculan pada abad ke-17 di Inggris. Traidsi yang terakhir itu menekankan pada nuansa tingkat kehidupan dan perilaku sosial dan biasanya menggunakan dialog yang sengaja dibuat sedemikian rupa sehingga leluconnya cerdas dan menggelitik, penuh dengan perumpamaan dan permainan kata, dan diwarnai oleh aneka bentuk silat lidah yang berkelas.
Jenis drama yang menekankan pada pemandangan atau setting adalah opera, komedi musikal modern, melodrama abad ke19-an, dan setting kerajaan yang terkenal dengan nama masques yang berasal dari Inggris abad ke-16. Pemandangan bisa berujud kostum yang berlebihan, tata panggung yang canggih, and elemen-elemen lainnya yang bisa memperkaya pengalaman visual audiens akan drama yang tengah mereka saksikan.
Jenis-jenis Drama
Jenis-jenis drama yang paling terkenal dan akrab di telinga kita adalah komedi dan tragedi, pembagian yang ditetapkan oleh para dramawan Yunani. Bahkan hingga sekarang topeng-topeng tersenyum dan meratap yang dikenakan para aktor drama Yunani dalam komedi dan tragedi merupakan simbol kedua cabang drama itu. Menurut konsep tradisional, suatu tragedi selalu didominasi oleh tone yang serius, menyangkut kehidupan para raja dan pangeran, berkaitan dengan masalah-masalah yang besar, dan biasanya berakhir dengan kematian tokoh yang penting. Komedi biasanya mengetengahkan kehidupan orang kebanyakan, didominasi oleh tone yang ringan yang menggugah orang untuk tertawa (atau paling tidak merupakan hiburan atau tontonan yang menyenangkan), dan berakhir dengan sesuatu yang membahagiakan, misalnya dengan menyatukan pasangan muda yang saling mencintai.
Selama masa Renaissance (abad ke-14 hingga 17) muncul bentuk drama yang lain, dan para penulis drama juga memodifikasi kedua bentuk yang tradisional itu. Shakespeare membagi dramanya menjadi komedi, tragedi, dan sejarah, dan yang terakhir menyajikan sejarah nasional dalam bentuk drama. Dia juga berangkat dari praktek drama klasik dengan menyuguhkan adegan-adegan lucu dalam tragedinya. Di Italia, para kritikus dan penulis drama tetentu mulai menggabungkan berbagai aspek dan elemen kedua bentuk drama itu untuk menciptakan bentuk drama yang ketiga, yang kemudian disebut tragikomedi. Gabungan aneka macam mood akhirnya menjadi lebih umum di abad kesembilan belas dan dua puluh.
Setelah masa Renaissance istilah komedi dan tragedi tetap penting meskipun para penulis memasukkan aspek-aspek dan elemen-elemen dari masing-masing drama dan bahkan menggabungkannya. Tragedi tetap menjadi genre yang paling sering digunakan untuk mengeksplorasi aneka pertanyaan filosofis tentang mana yang jahat dan mana yang baik dan tentang keberadaan dan peran manusia di alam semesta ini, sementara komedi lebih menekankan pada aspek-aspek sosial dan hubungan antar manusia. Pembagian ini membuat komedi lebih cocok untuk mengomentari berbagai masalah dan kritik sosial maupun sebagai hiburan yang sederhana. Komedi yang menekankan pada guyonan yang cerdas dan gaya yang berkelas serta disuguhkan untuk golongan kelas atas disebut komedi tingkat tinggi atau comedy of manners, kebalikan dari komedi rendahan atau farce. Komedi rendahan menggunakan humor fisik yang kadang bisa berubah jadi kekejaman dan juga banyolan-banyolan atau dagelan-dagelan yang kasar atau ejekan untuk mencapai efek yang diharapkan, jadi tidak menggunakan kata-kata lucu yang cerdas atau nuansa tertentu dari suatu perilaku sosial.
Sebagai bentuk populer yang rendah nilai sastranya, farce juga sudah ada dalam perkembangan drama klasik Yunani. Bentuk yang mirip dengan farce waktu itu adalah tragedi dengan daya tarik populer yang disebut melodrama, muncul dan dikenal sebagai jenis teater abad kesembilan belas (meskipun para kritikus modern menggolongkan drama-drama karya Euripides juga sebagai melodrama). Seperti farce, melodrama selalu berkaitan dnegan aksi fisik. Di abad kedelapan belas, bersamaan dengan semakin berkembangnya ketertarikan mengeksplorasi emosi manusia, berkembang pula komedi sentimentil. Komedi ini menekankan pada perasaan bukannya pada bagaimana membuat audiens tertawa. Yang lebih penting adalah bagaimna menarik simpati audiens terhadap para tokoh dan perjuangan mereka. Bentuk-bentuk baru meliputi pula tragedi yang mengetengahkan kehidupan masyarakat dari golongan kelas menengah dan drama-drama serius tentang kehidupan kelas menengah itu, yang sering kali disebut drama saja. Pada abad kedua puluh drama klas menengah ini menggantikan tragedi dan menjadi bentuk drama serius untuk teater-teater.
Tujuan-tujuan Drama
Di berbagai tempat dan masa yang berbeda, fungsi drama juga beraneka ragam pula. Penulis Romawi, Horatio, dalam salah satu pernyataannya yang sangat terkenal tentang tujuan sastra secara umum dan khusus, mengatakan bahwa drama ditulis untuk "membahagiakan sekaligus memberi instruksi." Kadang tujuan drama sudah dianggap yang pertama dari keduanya, kadang yang kedua, namun pada umumnya dalam kadar tertentu kedua tujuan itu ada semua.
Sejak jaman dahulu hingga masa Renaissance drama sangat dikaitkan dengan observansi keagamaan yang utama dan sengaja disuguhkan untuk mendukung keduanya. Alhasil, drama-drama yang ada lebih menekankan pada tujuan menginstruksikan. Dimasa Renaissance contoh-contoh teater yang ada di sekolah-sekolah dan universitas murni instruksional dan juga cointoh-contoh yang murni hiburan dalam teater-teater populer dalam fair-fair dan di pasar-passar, dan berbagai macam variasi kombinasi keduanya. Drama populer yang menekankan hiburan yang berupa pertunjukan dalam drama murahan maupun folk drama abad kedelapan belas dan sampai drama-drama utama yang ditawarkan oleh teater-teater komersial masa kini. Kebanyakan yang lebih serius lagi, drama sastra abad kedelapan belas dan setelahnya berusaha memberi informasi dan pemikiran serta pandangan yang lebih baik mengenai berbagai isu politik, sosial, dan moral. Penting sekali diingat bahwa drama juga merupakan sebuah karya seni, dan selain bisa menawarkan hiburany yang santai juga pengalaman yang lebih canggih lagi mengenai kenikmatan estetis. Pada awal abad kedua puluh pergerakan seni teater menekankan pada tujuan ini, yaitu dengan menampilkan drama yang tujuan utamanya tidak lain pengalaman estetis dan artistik, bukannya hiburan semata atau instruksi.
Audience bersedia nonton suatu pementasan drama karena gabungan motivasi yang bermacam-macam, termasuk rasa ingin tahu atau penasaran, dan hasrat untuk memperoleh suatu pengetahuan, mencari kesenangan, dan hasrat memperoleh pengalaman dan pengetahuan seni dan keindahan. Namun, semua pengalaman ini akhirnya diintensifkan oleh harkat drama yang pada dasarnya untuk publik. Karena drama merupakan karya sastra yang dirancang untuk dipentaskan di hadapan publik, menulis naskah drama seringkali juga berarti mengkesploraasi agar drama tersebut bisa terkait dnegna segala yang terjadi di dalam masyarakat. Banyak pakar menyanggah bahwa sebagai seni yang merefleksikan kepedulian sosial di hadapan sekelompok audiens, drama terutama sangat cocok untuk mendorong terjadinya berbagai perubahan sosial. Banyak pakar lain yang juga menyangkal bahwa dengan berorientasi kepada kelompok maka untuk bisa sukses sebuah drama tidak boleh menentang asumsi umum audiensnya. Meskipun para kritikus sependapat bahwa potensi drama yang revolusioner, namun kebanyakan setuju bahwa tujuan pokok sebah drama selalu menyediakan sarana masyarakat merefleksikan diri dan keyakinannya.
Drama Elizabethan, Jacobean, dan Restorasi di Inggris
Drama kalsik dan drama yang akhirnya memformulasikan aturan-aturan yang canggih bagaimana menulisnya akhirnya secara bertahap tersebar di Eropa. Tapi, untuk masing-masing negara hasilnya berbeda-beda. Sekolah-sekolah dan universitas-universitas di Inggris justru mengambil ide-ide yang berkembang di Italia pada pertengahan abad keenambelas. Pada akhir abad tersebut, praktek drama klasik bergabung dengan praktek teater medieval dan berbagai macam tradisi populer lainnya menghasilkan jenis drama baru yang lebih kompleks di Inggris. Bentuk ini mencapai puncaknya dalam karya-karya dramawan terkenal sepanjang masa, antara lain William Shakespeare.
Pada tahun 1580-an sekelompok kaum terpelajar, kadang disebut the University Wits, mempersiapkan jalan bagi kejayaan Shakespeare. Anggota kelompok yang paling terkenal adalah penulis drama Christopher Marlowe and dramawan Thomas Kyd. Karya Marlowe The Tragical History of Doctor Faustus (1588?) dengan sangat menarik mengkombinasikan elemen-elemen drama medieval and Renaissance dengan gaya puitis yang kuat yang akhirnya membuat Marlowe menjadi sangat terkenal. Drama karya Kyd, The Spanish Tragedy (1589?), merupakan kesuksesan pertama yang paling besar di masa Renaissance Inggris dan mengawali tema dan stuktur tragedi yang berkembang kemudian, misalnya karya Shakespeare yang paling terkenal, Hamlet (1601?).
Menjelang akhir pemerintahan Ratu Elizabeth yang sangat panjang, yaitu dari tahun 1558 hingga tahun 1603, sebuah drama yang sangat terkenal dan dan brilian berkembang di Inggris, yang merupakan drama paling penting dan produktif di sepanjang sejarah. Bagi kita dimasa kini Shakespeare tampak mendominasi periode tersebut, padahal pada waktu itu sebenarnya reputasi rival-rivalnya juga sama tinggi atau bahkan melebihi dia, terutama Ben Jonson, Francis Beaumont, dan John Fletcher. Jonson, yang sangat terkenal dengan karyanya Volpone (1606; The Fox), merupakan dramawan yang karya-karyanya paling terkait dengan model-model klasik yang bermunculan kemudian. Karya-karyanya pulalah yang mendongkrak drama menjadi seni yang sangat bergengsi. Pada tahun 1616 dia menjadi penulis drama Inggris pertama yang mempublikasikan karya-karyanya, dan karenanya membuat publik memandang karya-karyanya sebagai karya sastra, bukan sekedar hiburan sesaat. Beaumont dan Fletcher terkenal karena karya-karya kolaborasi mereka, misalnya The Maid's Tragedy (1611?), meskipun mereka juga bekerja sendiri atau bekerjasama dengan para penulis lainnya. Fletcher pun bekerja sama dengan Shakespeare menggarap The Two Noble Kinsmen (1613?).
Setelah mangkatnya Ratu Elizabeth pada tahun 1603, ketegangan politik dan agama memuncak, dan dengan perlahan tapi pasti mengikis semanagt menggebu periode Elizabethan. Karya-karya drama periode Jacobean yang mengikutinya bernuansa lebih gelap dan pesimis. Inilah periode tragedi-tragedi besar Shakespeare, termasuk diantaranya Othello (1604?), tentang seorang suami yang membunuh istrinya karena terbakar rasa cemburu; King Lear (1605?), tentang seorang raja yang semakin tua yang secara tragis keliru menilai cinta putri-putrinya; dan Macbeth (1606?), tentang seorang tiran yang ambisius dan amoral. Bahkan komedi yang suram juga muncul dalam Measure for Measure (1604?), tentang seorang deputi yang korupsi. Karya-karya yang mencerminkan puisi yang kuat maupun pandangan akan dunia yang muram periode ini tampak dalam The Duchess of Malfi (1614?) karya John Webster dan ’Tis Pity She's a Whore (1633) karya John Ford. Dalam drama-drama Webster tokoh yang penting dibunuh oleh saudara-saudara laki-laki yang jahat karena telah menikahi seorang gadis kebanyakan. Drama-drama Ford berkisar pada hubungan antara kakak dan adik yang tidak rukun.
Ketidakstabilan politik dan relijius di Inggris memuncak sekitar masa perang saudara sampai tahun 1642, dan teater-teater idtutup sampai monarkhi kembali berkuasa pada tahun 1660. Selama periode Restorasi, yang mulai tahun 1660, banyak drama Renaissance muncul kembali dan banyak diminati, meski tampil dengan gaya yang baru. Pengaruh Pierre Corneille, penulis drama yang penting di Perancis pada tahun 1650-an membawa ke orientasi klasik tragedi yang puitis, yang disebut heroic tragedy. John Dryden, dramawan pertama masa Restorasi, menulis tragedi heroik yang berjudul The Conquest of Granada (1670), yang menyuguhkan nilai-nilai heroik seperti cinta yang ideal, kesetiaan dalam perang, dan ditampilkan dalam bait-bait yang bersajak.
Drama paling terkenal pada masa tersebut adalah serangkaian komedi yang brilian yang mempopulerkan pola komedi khas Inggris masa itu yaitu komedi tingkat tinggi atau comedy of manners yang didasarkan pada percakapan yang witty dari tokoh-tokoh aristokrat. Master pertama gaya baru ini adalah George Etherege, dengan dramanya The Man of Mode (1676), dan William Wycherley, dengan The Country Wife (1675). Restorasi juga menjadi saksi pemunculan dramawati profesional pertama dai Inggris yang dipimpin oleh Aphra Behn. Komedi-komedinya yang populer juga menggunakan eleem-elemen dan ciri-ciri comedies of manners namun lebih menggantungkan efeknya pada plot-plot yang kompleks. Komedi-komedi jaman Restorasi mencapai ekspresinya yang paling sempurna dalam drama The Way of the World (1700) karya William Congreve, yang didominasi oleh pasangan yang brilian dan witty.
DRAMA ABAD KESEMBILAN BELAS
Pada awal abad kesembilan belas, para dramawan membuat keputusan yang memang disadari untuk memisahkan diri dari tradisi-tradisi sebelumnya. Tendensi menuju Realisme dan penampilan situasi dan tokoh-tokoh yang dikenal oleh audiens benar-benar berkembang sepanjang abad itu.
Aliran Romantik
Bersamaan dengan mulainya abad kesembilan belas, sebuah gerakan sastra baru muncul di Jerman, yaitu alirang Romantik. Aliran ini menekankan individualism, ekspresi subyektif, dan imaginasi. Dalam teater, para pengikut aliran Romantik menolak keterbatasan aliran Neoklasik terutama yang terdapat dalam drama-drama Perancis, termasuk tiga kesatuan, pemisahan genre yang sangat ketat, dan motivasi konvensional yang dilandasi oleh nalar dan etika. Para penulis biasanya menganggap Voltaire dan Racine sebagai contoh terkemuka pendekatan Neoklasik, dan mereka memandang karya-karya Shakespeare sebagai model percontohan. Pada sekitar tahun 1830-an, ide-ide Romantik mendominasi drama dan sastra Eropa. Dramawan terkemuka Jerman pada awal abad kesembilanbela, Friedrich von Schiller dan Johann Wolfgang von Goethe, telah membantu meletakkan dasar untuk karya-karya Romantik diakhir abad kedelapan belas dengan drama-drama yang menekankan emosi dan kebebasan pribadi. Meskipun para dramawan itu akhirnya menjauhkan diri dengan para pengikut aliran Romantik dieranya, pengaruhnya tetap jelas terlihat dalam karya-karya yang terkenal. Tulisan Schiller, Maria Stuart (1800) mengetengahkan dua pahlawan wanita yang menyendiri—Queen Elizabeth I dan Mary, Queen of Scots—di sebuah dunia yang penuh permusuhan. Karya masterpiece karangan Goethe yang berjudul Dr. Faustus menekankan pada hak individu mempertanyakan apa saja dengan bebas dan mengubah nasibnya sendiri. Trgedi psikologis yang sangat kompleks yang ditulis oleh Heinrich von Kleist, including Prinz Friedrich von Homburg (1811; The Prince of Homburg), juga menunjukkan impak aliran Romantik. Penulis drama awal abad ke-19 dari Inggris, Joanna Baillie, juga memasukkan kualitas-kualitas khas aliran Romantik dalam drama-dramanya yang mayoritas berupa tragedi sejarah, misalnya De Monfort (1800), dengan menekankan pada emosi para karakternya. Kebanyakan penyair Romantik yang terkenal juga menulis drama namun seumur hidup mereka, hanya karya mereka yang berupa puisi saja yang ditampilkan dalam khasanah sastra: Marino Faliero (1821) oleh Lord Byron.
Para penulis Perancis menolak mentah-mentah aliran Romantik sampai mereka benar-benar terkesan oleh keberhasilan Hernani (diterjemahkan tahun 1830) oleh Victor Hugo. Sejak itulah drama-drama Romantik mencapai jaman keemasan mereka, termasuk di dalamnya yang berjudul Antony (1831) karya Alexandre Dumas dan Chatterton (1835); karya Alfred de Vigny. Meskipun drama-drama Hugo, Dumas, and Vigny mendominasi periode ini, namun komedi-komedi cinta sangat menyenangkan. Karya-karya Alfred de Musset, seperti misalnya Les Caprices de Marianne (1851; Marianne, (1905), yang pada awalnya diabaikan orang, akhirnya menjadi drama-drama populer.
Melodrama
Drama-drama awal abad kesembilanbelas menampilkan tokoh orang kebanyakan (bukan keluarga kerajaan atau bangsawan) dan memadukannya dengan elemen-elemen aliran Romantik antara lain pentingnya emosi dan cara pandang tertentu. Jenis drama ini kemudian disebut melodrama, dimana penulis memanipulasi peristiwa-peristiwa dan emosi dengan agak mengesampingkan logika dan karakter. Melodrama yang pertama kali muncul adalah karya René Guilbert de Pixérécourt yang berjudul Victor ou l'enfant du forêt (Victor, or the Child of the Forest, 1798). Selkama bertahun-tahun Pixérécourt dan rivalnya, Victor Ducange, mendominasi genre yang populer di Perancis dengan drama-drama seperti Trente ans ou la vie d'un joueur (1827; The Gambler's Fate).
Thomas Holcroft menegakkan tradisi melodramaInggris pada tahun 1802 dengan drama berjudul A Tale of Mystery, terjemahan dari drama Pixérécourt yang berjudul Coelina (1800). Melodrama Inggris, yang mencontoh rama-drama Perancis, cenderung mengetengahkan topik-topik supernatural atau kisah cinta yang erotis. Namun, pada tahun 1820-an, topik-topik yang lebih umum dan dekat dengan permasalahan sehari-hari mulai bermunculan. Ikatan kuat masyarakat Inggris dengan laut juga tercermin dalam aneka melodrama mengenai para pelaut dan kekasih mereka. Yang paling terkenal adalah melodrama karya Douglas William Jerrold yang berjudul Black-Eyed Susan (1829). Melodrama yang lebih dikenal umum adalah cerita-cerita sekitar kehidupan rumah tangga, bentuk yang dikembangkan pertama kali oleh seorang penulis drama bernama John Baldwin Buckstone. Drama pertamanya yang terkenal adalah Luke the Labourer (1826). Setengah abad kemudian, melodrama yang mendominasi panggung-panggung teater Inggris antara lain drama-drama karya Dion Boucicault, yang pada masa-masa produktifnya bolak-balik Inggris dan Amerika. Karya Boucicault , The Octoroon (1859) dengan bagus mengkombinasikan ketegangan rasial di Amerika dengan intrik-intrik melodramatis dan pandanagan akan teknologi modern.
Drama yang Lebih Modern
Aliran Romantik mencapai kesuksesan paling besar di teater-teater Perancis. Penulis drama ternama Eugène Scribe mengembangkan jenis drama lain yang ternyata jauh lebih berpengaruh. Scribe, yang telah menulis lebih dari 300 drama, menyempurnakan drama yang disebut the well-made play. Dalam drama tersebut, Scribe dengan seksama mempersiapkan audiens menghadapi emosi yang ingin dia timbulkan, kejadian dengan sekuens sebab-akibat yang dia tampilkan, berbagai suspense yang dia bangun dan juga aneka pemutarbalikan yang mengejutkan, serta tentu saja klimaks yang dibangun dengan cermat. Meskipun berbagai kritikus melihat kesuksesan Scribe merosot terutama karena karyanya Le verre d'eau (1840; A Glass of Water) yang, ibarat sebuah mesin, cacat sejak dari ide pembuatannya hingga karakternya. Namun akhirnya Scribe berhasil membuat para pakar drama yang sangat tinggi reputasinya di Perancis menaruh perhatian besar pada bentuk drama yang dikembangkannya itu.
Penerus langsung Scribe adalah Victorien Sardou, salah satu dramawan populer di abad kesembilan belas. Dia mengorbitkan aktor ternama dalam periode itu, antara lain Sarah Bernhardt berkat dramanya La Tosca (1887). Para penulis farce juga menyukai konstruksi dramanya yang cermat dan intrik yang menantang dari well-made play. Orang-orang Perancis kemudian memperkenalkan farce ini melalui drama-drama terbesar dalam era itu yang penuh dengan intrik yang rumit, antara lain Le chapeau de paille d'Italie (1851; A Leghorn Hat, 1917) by Eugène Labiche and Hôtel du Libre-Échange (1894; Hotel Paradiso, 1957) by Georges Feydeau.
Realisme dan Drama Sosial
Pada sekitar pertengahan abad kesembilanbelas para dramawan Eropa mengembangkan minat mengangkat kehidupan yang ada dengan lebih apa adanya dan akurat, bahkan kadang dengan pesan-pesan sosial yang langsung diungkapkan atau dibuat tersirat. Drama seperti ini disebut drama sosial atau drama yang di Perancis dipelopotri oleh Émile Augier dan Alexandre Dumas fils (junior). Dumas fils' La dame aux camélias (1852; The Lady of the Camellias, 1897) sukses di kancah international. Meskipun demikian, pengangkatan emosional seorang wanita dengan moral yang dipertanyakan telah memberi Augier sebuah inspirasi menampilkan jawaban yang lebih gelap lagi dalam karyanya Le mariage d'Olympe (1855; The Marriage of Olympe), sebuah potret kehidupan seorang pelacur yang jauh lebih realistis. Di Jerman, Friedrich Hebbel, meskipun berangkat sebagai dramawan yang beraliran Romantik, berubah haluan dan menelorkan karya RJealisnya yang sangat terkenal, tragedi Maria Magdalena (1844), yang mencerminkan sikap hati orang-orang kelas menengah terhadap perkawinan dan moralitas. Meskipun melodrama Inggris yang terkenal biasanya menjadi lebih realistis namun pada abad ke-19 dramawan Inggris yang bisa dianggap realis hanyalah Tom Robertson. Dalam karyanya Society (1864) dan karya-karya lainnya, dia sangat jeli memperhatikan penggunaan bahasa sehari-hari pergaulan sehari-hari sehingga dramanya disebut cup and saucer dramas.
Aleksander Ostrovsky, penulis drama profesional pertama di Russia, menetapkan bahwa realisme merupakan model drama utama di negerinya, baik dalam bentuk komedi (Les, 1871; The Forest) maupun tragedi (Groza, 1860; The Thunderstorm). Penyumbang drama realis Russia lainnya adalah Ivan Turgenev, yang karya-karyanya antara lain Mesiats v derevne (1850; A Month in the Country), sebuah studi perspektif mengenai aristokrasi.
Naturalsime, Simbolisme, dan Drama-drama Abad ke -19 Lainnya
Begitu memasuki tahun 1870-an drama realis yang diperkenalkan pada tahun 1850-an mulai tampak ketinggalan jaman dan artifisial. Para dramawan dan ahli teori drama sebuah generasi baru mencoba mencari bentuk lain yang bahkan akan mampu merepresentasikan tekstur kehidupan sehari-hari dengan lebih mirip. Realisme membuka jalan bagi Naturalism, yang dipelopori oleh seorang penulis Perancis bernama Émile Zola. Dalam beberapa drama dan esei yang ditulisnya, Zola berusaha mencari sebuah bentuk drama yang bisa menerapkan berbagai metode penulisan ilmu pengetahuan ke dalam drama, meneliti dan merekam perilaku manusia dengan obyektif dan cermat seperti seorang ilmuwan di labnya. Drama yang bisa menerapkan pendekatan Zola adalah Thérèse Raquin (1873), yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama pada tahun 1867.
Hampir bersamaan dengan tulisan-tulisan Zola, seorang penulis drama dari Norwegia, Henrik Ibsen, mulai menulis serangkaian drama yang akan menjadi peletak dasar drama modern. Kebanyakan karya-karya awal Ibsen kembali mengacu ke aliran romantik, misalnya karyanya Peer Gynt (1867; yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1892), dengan tegas menampilkan karya Goethe, Faust. Pada akhir tahun 1870-an, karyanya berbnalik arah seratus delapan puluh derajat, misalnya Et dukkehjem (1879; A Doll's House, 1889) dan Gengangere (1881; Ghosts, 1888). Drama-drama ini mirip dengan kesediaan para penganut Naturalisme menampilkan materi-materi yang mengejutkan yang pada mulanya dianggap tidak sesuai untuk teater—kesetaraan perempuan dalam A Doll’s House dan penyakit seksual dalam drama Ghosts Dalam segi bentuk karya-karya tersebut sealiran dengan Scribe dan merupakan well-made play, sementara secara umum, dilihat dari gaya dan kepeduliannya pada masalah sosial, drama-drama Ibsen tersebut senada dengan apa yang digarap oleh para dramawan Realis di tahap-tahap awal mereka.
Karya-karya Realis garapan Ibsen dibaca dan diterbitkan atau diproduksi secara luas (meskipun sering disensor di sana-sini), dan ditiru diseluruh Eropa. Karya-karya tersebut telah membangkitkan generasi drama baru. Di Jerman, Gerhart Hauptmann menciptakan studi yang sangat berpengaruh tentang masyarakat kontemporer misalnya Die Weber (1892; The Weavers), yang menampilkan kehidupan dan nasib sekelompok petani. Di Swedia, August Strindberg menegakkan reputasinya dengan drama Realis berjudul Fadren (1887; The Father) dan Fröken Julie (1888; Miss Julie). Di Spanyol, José Echegaray mebjadikan drama Ibsen Ghosts sebagai model dramanya berjudul El hijo de Don Juan (1892; The Son of Don Juan, 1895). James A. Herne membawa Realisme baru dan kedalaman psikologis dalam drama ke Amerika dengan karyanya Margaret Fleming (1890), sebuah drama tentang hubungan antara seorang suami yang tidak setia dengan isterinya. Di Inggris, sebuah aliran baru drama sosial yang serius muncul berkat inspirasi dari drama-drama Ibsen. Pelopor kelompok ini antara lain Henry Arthur Jones dengan dramanya The Liars (1897), dan Arthur Wing Pinero, yang karyanya The Second Mrs. Tanqueray (1893) menampilkan seorang wanita yang tidak mampu melarikan diri dari masa lalunya yang begitu gelap. George Bernard Shaw juga mulai karir menulis dramanya dengan pengaruh Ibsen dengan karya pertamanya, Widowers’ Houses (1892), sebuah drama yang mencerca Kapitalisme.
Shaw menganggap Eugène Brieux dari Perancis sebagai seorang penulis drama paling hebat di Eropa sesudah Ibsen; dan problem-problem studi sosial yang mengejutkan yang ditampilkan Brieux sesungguhnya telah memberi ide Ibsen, terutama karyanya Brieux's Les avariés (1902; Damaged Goods, 1912), yang memaparkan penularan penyakit kelamin. Namun semakin sebuah drama ditampilkan secara naturalistis semakin drama tersebut mendapat tanggapan dari penulis Perancis lain, Henri Becque, melalui drama-dramanya Les corbeaux (1882; The Vultures, 1913). Sumbangan drama naturalis lain yang juga penting adalah Vlast’ tmy (1888; The Power of Darkness), sebuah tragedi tentang para petani yang ditulis oleh Leo Tolstoy dari Russia, meskipun kebanyakan dramawan Russi pada masa tersebut didominasi oleh Anton Chekhov. Studi mendalam yang dilakukan Chekhov terhadap kehidupan sehari-hari di berbagai belahan Rusia, misalnya Chaika (1896; The Sea Gull, 1912), sangat terpengaruh oleh tradisi Realisme yang dikembangkan di Rusia oleh Ostrovsky dan Turgenev, meskipun mereka merdeka menciptakan sebuah tone yang unik.
Walaupun Realisme tetap menjadi gaya dominan sepanjang abad ke-20, para penulis individual dan berbagai gerakan secara beruntun bermunculan menentangnya. Sekelompok penulis drama menjelang akhir abad ke-19 berusaha kembali ke bahasa puitis dan cara pandang teater Romantik, namun hanya Edmond Rostand yang memperoleh kesuksesan yang panjang dengan karyanya Cyrano de Bergerac (1897; diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris pada tahun 1898). Tantangan yang cukup berarti terhadap Realisme semakin besar dengan munculnya symbolisme, yang dikembangkan untuk menanggapi obyektifitas dan rasionalitas keilmuan yang didengung-dengungkan oleh aliran Naturalisme. Para penganut Simbolisme, sebaliknya, menyatakan bahwa imajinasi merupakan penerjemah realita yang sesungguhnya. Ibsen mulai berbalik menjadi lebih Simbolis, bahkan dalam karya-karyanya selanjutnya ia lebih mistis, mulai dengan Bygmester Solness (1892; The Master Builder, 1893), seperti juga Hauptmann, yang memulai dengan karyanya Hanneles Himmelfahrt (1893; Hannele, 1894). Di Jerman, Frank Wedekind memadukan Realisme dan Simbolism dalam drama pertamanya yang sangat penting, Frühlings Erwachen (1891; The Awakening of Spring, 1909). Para dramawan yang mengaitkan diri dengan aliran Simbolism juga bermunculan, antara lain Maurice Maeterlinck dari Belgia, yang karya-karya medieval dan mistiknya, Pelléas et Mélisande (1892; diterjemahkan pada tahun 1892) menjadi semacam model bagi gerakan baru tersebut. Yang tidak terlalu tipikal adalah sebuah satir Grotesque berjudul Ubu Roi (1896; diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris pada tahun 1951) yang ditulis oleh Alfred Jarry, yang subversi tegasnya terhadap model teater tradisional akhirnya memelopori munculnya drama-drama dengan aliran Surrealis, Dadais, dan Absurd di Perancis. Di Italia, Gabriele D'Annunzio mendapat pengaruh dari Maeterlinck untuk menciptakan serangkaian drama simbolis, termasuk diantaranya, La città morta (1898; The Dead City, 1900), yang kebanyakan ditulis untuk aktor besar Italia, Eleonora Duse.
William Butler Yeats, penulis terkenal dalam kesusasteraan Inggris yang berasal dari Irlandia, membawa pengaruh tersebut ke Irlandia dan ke dalam drama-drama pertamanya, antara lain The Shadowy Waters (1900 Yeats benar-benar berkutat dengan perjuangan nasional Irlandia, yang secara signifikan berpengaruh pada drama awal tahun abad berikutnya. Oscar Wilde menampilkan contoh langka drama Inggris yang dipengaruhi oleh Simbolism dengan karyanya Salomé (1893), namun dia lebih terkenal karena gaya humor dan komedinya yang intelek, The Importance of Being Earnest (1895).
AGAMA DAN ILMU

( Tulisan ini diambil dari tiga tulisan yang membahas tema "agama dan Ilmu" yang pertama ditulis New York Times Magazine 9 November 1930; yang kedua disampaikan pada princeton Theological Seminary, 19 Mei 1939; dan yang ketiga dimuat pada Science, Philosophi, and Religion: Sympisium yang diterbitkan pada 1941 oleh Comference on Scince, Philosophi, and Religion in Their Relation to The Democratic Way of Life Disini Sengaja diambil satu tulisan lengkap dan sebagian dari dua tulisan lainnya agar gagasan Einstain terungkap secara utuh,
tetapi tidak ditumpang tindih.
diterjemahkan oleh Zainal Abidin dari Sonja Bargman (ed), Ideas and Opinions by Albert Einstein, Bonanza)

Selama abad yang lalu, dan sebagian abad sebelumnya, tersebar luas pendangan bahwa ada pertentangan yang tidak dapat didamaikan antara ilmu dan agama. Pandangan yang dianut oleh tokoh zaman itu adalah bahwa sudah saatnya iman digantikan oleh pengetahuan. Iman yang tidak bersandar pada pengetahuan adalah takhayul, dan karenanya harus ditolak. Menurut konsepsi ini, fungsi saru-satunya pendidikan adalah untuk membuka jalan kepada pemikiran dan manusia, haruslah memenuhi hanya tujuan itu saja. Memang amat sulit kita temukan –kalaupun ada– sudut pandang rasionalistik yang diungkapkan dalam bentuk sekonyol itu; karena setiap orang yang dapat dengan mudah melihat betapa sepihaknya pernyataan itu. Tetapi kita perlu menyatakan suatu tesis secara tajam dan telanjang sama sekali, jika ingin mengetahui hakikat sejatinya.
Adalah benar bahwa keyakinan hanya dapar didukung dengan baik oleh pangalaman dan pikiran jernih. Pada titik ini, kita mesti bersepakat sepenuhnya dengan kaum rasionalis ekstrim. Bagaimanapun, titik lemah ini adalah bahwa keyakinan tersebut –yang amat penting dan menentukan perilaku dan penilaian kita–tak dapat ditemukan hanya pada wilayah ilmu yang ketat ini. Ini disebabkan metode ilmiah tidak dapat mengajarkan apa pun tentang bagaimana fakta-fakra berhubungan, dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Pengahargaan kepada pengetahuan objektif harus diberikan kepada orang-orang dengan kemampuan tertinggi yang mengembangkannya, dan saya harap Anda tidak menuduh saya ingin mengecilkan pencapaian-pencapaian dan usaha-usaha heroik dari orang-orang yang bergiat di bidang ini. Namun, sama jelasnya adalah bahwa pengetahuan tentang apa yang sebenarnya tidaklah langsung membukakan pintu bagi apa yang seharusnya. Seseorang dapat memperoleh pengetahuan yang paling lengkap dan paling jelas tentang apa sebenarnya, tetapi tidak mampu meyimpulkan darinya suatu tujuan dari aspirasi kemanusiaan kita.
Pengetahuan objektif melengkapi kita dengan alat ampuh untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, tetapi tujuan puncak itu sendiri dan rasa rindu untuk mencapainya harus datang dari sumber lain. Dan hampir tidak perlu memperdebatkan pandangan bahwa kemaujudan dan aktivitas kita memperoleh makna hanya dengan penetapan tujuan seperti itu dan nilai-nilai yang berhubungan dengannya. Pengetahuan tentang kebenaran seperti apa adanya adalah menakjubkan, tetapi hanya sedikit perannya sebagai pembimbing, karena bahkan pengetahuan itu sendiri tak dapat mebuktikan konsepsi yang murni rasional dari kemajuan kita. Tetapi kita juga tidak dapat mengasumsikan bahwa pemikiran akal tidak dapat berperan sama sekali dalam pembentukan tujuan dan penilaian etis . Ketika seseorang menyadari bahwa untuk mencapai suatu tujuan diperlukan suatu cara, di situ cara itu sendiri sudah menjadi tujuan. Meskipun demikian, berpikir semata tidak dapat suatu kepekaan atau rasa akan tujuan akhir. Bagi saya, inilah tampaknya peranan terpentung yang harus dimainkan oleh agama dalam kehidupan sosial manusia. Yaitu, untuk memperjelas tujuan dan penilaian fundamental ini, dan untuk menancapkannya dalam kehidupan emosional manusia. Dan jika ada yang bertanya, dari otoritas mana kita mesti mendapatkan tujuan fundamental ini –karena tujuan itu tidak dapat dinyatakan dan dijustifikasi hanya oleh nalar–maka jawabannya adalah: tujuan tesebut maujud dalam masyarakat yang seharusnya sebagai tradisi yang kuat, yang mempengaruhi perilaku, harapan-harapan, dan penilaian anggotanya; tujuan itu ada disana, yaitu, sesuatu yang hidup, tanpa merasa perlu menemukan jastifikasi bagi keberadaannya. Tujuan-tujuan itu maujud tanpa melalui pembuktian atau demonstrasi, tetapi melalui semacam pewahyuan, dengan perantaraan pribadi-pribadi tangguh. Tak perlu menjustifikasinya, tetapi yang penting adalah merasakan hakikatnya, secara sederhana dan jernih.
Kini, meskipun wilayah agama dan ilmu masing-masing sudah saling membatasi dengan jelas, bagaimanapun ada hubungan dan ketergantungan timbal balik yang amat kuat di antara keduanya. Meskipun agama adalah yang menentukan tujuan, tetapi dia telah belajar dalam arti yang paling luas, dari ilmu, tentang cara-cara apa yang akan menyumbang pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkannya. Dan ilmu hanya dapat diciptakan oleh mereka yang telah teri-lhami oleh aspirasi terhadap kebenaran dan pemahaman. Sumber perasaan ini, tumbuh dari wilayah agama. Termasuk juga disisni adalah kepercayaan akan kemungkinan bahwa pengaturan yang absah bagi dunia kemaujudan ini bersifat rasional, yaitu dapat dipahami nalar. Saya tak dapat percaya ada ilmuwan yang tidak memiliki kepercayaan tersebut. Keadaan ini dapat diungkapkan dengan suatu citra ; ilmu tanpa agama adalah lumpuh, agama tanpa ilmu adalah buta. Meskipun saya sudah menyatakan di atas bahwa sesungguhnya tak boleh ada pertentangan antara ilmu dan agama, saya mesti menekankan sekali lagi peryataan itu pada titik yang esensial, dengan mengacu kepada kandungan aktual agama-agama dalam sejarah. Pembahasan ini berhubungan dengan konsep Tuhan.

Perasaaan Religius-Kosmik.
Semua yang dilakukan dan dipikirkan manusia adalah berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang amat dirasakannya dan usaha menghindari perasaan tidak enak. Ini harus tetap diingat jika kita akan memahami gerakan-gerakan spritual dan perkembangannya. Perasaan dan keinginan adalah kekuatan pendorong segala upaya dan kreasi manusia, betapapun tersamarnya ia menampakkan diri kepada kita. Kini, perasaan-perasaan dan kebutuhan-kebutuhan apakah yang telah membawa manusia kepada pemikiran dan keyakinan religius dalam artinya yang paling luas? Pengamatan sepintas saja sudah cukup menunjukkan kepada kita bahwa pemikiran dan pengalaman religius dilahirkan oleh perasaan-perasaan yang amat beragam. Bagi orang primitif, rasa takutlah, diatas segalanya, yang menimbulkan gagasan religius-takut lapar, binatang buas, sakit, dan mati. Karena pada tingkat kemaujudan ini pemahaman akan berhubungan sebab-akibat biasanya tak cukup berkembang, maka akal manusia menciptakan wujud-wujud khayali yang sedikit banyak berfungsi sebagai bagian bagian dari hubungan sebab-akibat : peristiwa-peristiwa menakutkan terjadi sebagai akibat kehendak dan perbuatan wujud-wujud khayali tersebut. Dengan demikian, seseorang berusaha memenuhi keinginan wujud-wujud itu dengan menyajikan kurban-kurban dan mengerjakan perbuatan-perbuatan yang- menurut tradisi yang diteruskan secara turun temurun ke tiap generasi-bertujuan mendamaikan wujud-wujud itu atau membuat mereka bersikap baik kepada manusia.
Di sini saya sedang berbicara tentang agama-takut. Agama ini adalah suatu tahap penting yang, meskipun tak diciptakan, diteguhkan oleh pembentukan suatu kelompok kependetaan istimewa yang meletakkan dirinya sebagai perantara antara manusia dengan wujud-wujud yang mereka takut itu, dan kasta ini membangun kekuasaan diatas dasar ini. Seringkali seorang pemimpin, penguasa, atau suatu golongan privilese, yang mendapatkan posisinya karena faktor-faktor lain, mengkombinasikannya dengan fungsi kependetaan agar otoritas sekularnya itu dapat lebih aman terjamin. Atau, para penguasa politik dan kelompok kependetaan bekerja sama demi kepengtingan masing-masing.
Desakan-desakan sosial adalah sumber lain dari terbentuknya suatu agama. Bapak, ibu, dan para pemimpin masyarakat makhluk-makhluk yang fana dan dapat berbuat salah. Kebutuhan mereka akan perlindungan, kasih sayang dan dukungan mendorong manusia untuk membuat konsepsi sosial, atau moral tentang Tuhan. Inilah Tuhan sang Pemelihara yang melindungi, memberi kepastian, memberi ganjaran, dan menghukum ; Tuhan yang- sesuai dengan batas pandangan orang yang percaya- mencintai dan memuliakan kehidupan suatu suku atau kehidupan umat manusia, atau bahkan kehidupan itu sendiri ; Tuhan yang menjadi penghibur dalam penderitaan dan dalam keinginan yang tak terpuasi ; Dialah yang memelihara jiwa-jiwa orang yang telah mati. Inilah konsepsi sosial atau moral tentang Tuhan. Kitab suci agama Yahudi dengan menarik meggambarkan perkembangan dari agama-takut ke agama-moral ini – sebuah perkembangan yang berlanjut dalam Perjanjian Baru. Agama bangsa-bangsa beradab, khususnya bangsa-bangsa Timur, pada pokoknya adalah agama moral. Perkembangan dari agama-takut ke agama-moral adalah satu langkah besar dalam kehidupan umat manusia. Namun, kita tetap harus mewaspadai prasangka bahwa agama primitif didasarkan sepenuhnya pada rasa takut, dan agama bangsa beradab sepenuhnya pada moralitas. Yang benar adalah bahwa semua agama merupakan campuran yang beragam dari kedua tipe tersebut, dengan satu perbedaan: pada tingkat kehidupan sosial yang lebih tinggi, agama moralitas lebih menonjol. Satu hal yang ada pada semua tipe ini adalah watak antropomorfis dalam konsepsi tentang Tuhan.
Pada umumnya, hanyalah orang-orang yang mempunyai bakat istimewa dan yang cerdas, yang merupakan perkecualian, yang dapat naik sampai ke suatu tingkat jauh di atas tingkat ini. Tetapi, ada tingkat ketiga dari pengalaman religius yang ada pada semua tipe tersebut, meskipun jarang ditemukan dalam bentuknya yang murni: saya menyebutnya dengan "perasaan religius-kosmik". Sangatlah sulit menjelaskan perasaan ini kepada orang yang sama sekali tak memilikinya, khususnya karena tidak ada konsepsi antropomorfis tentang Tuhan yang berhubungan dengan perasaan itu. Orang itu merasakan betapa sia-sianya keinginan dan tujuan manusia, dan merasakan kelembutan dan ketertiban yang menakjubkan yang mengungkapkan dirinya dalam alam dan dunia pemikiran. Kemaujudan Individual hanya terkesan sebagai semacam penjara dan ia mengalami alam semesta sebagai suatu keseluruhan tunggal yang bermakna. Awal perasaan religius-kosmik sudah muncul pada tingkat awal perkembangan, sebagai contoh, dalam banyak Kitab Zabur Nabi Dawud dan pada beberapa Nabi. Agama Budha seperti yang kita pelajari, terutama dari tulisan-tulisan Schopenhauer, berisi unsur yang lebih kuat dari perasaan tersebut.
Para jenius religius dari segala zaman dibedakan oleh perasaan religius semacam ini, yang tidak mengenal dogma dan konsepsi Tuhan dalam bentukan citra manusia; maka tak akan ada gereja yang ajaran-ajaran utamanya didasarkan pada hal tersebut. Karenanya, kita menemukan orang-orang yang penuh dengan perasaan religius tertinggi ini hanya diantara para heretik (yang dianggap melakukan bid’ah-bid’ah) di setiap zaman; dan dalam banyak hal mereka dipandang oleh orang-orang sezamannya sebagai orang ateis, kadang-kadang juga sebagai santo (wali). Dari sudut pandang ini, orang-orang seperti Demokritos, Francis Assisi, dan Spinoza, sangat mirip satu dengan lainnya. Bagaimana mungkin perasaan religius-kosmik dikomunikasikan kepada orang lain, kalau perasaan itu memunculkan tak satupun gagasan yang mutlak tentang Tuhan, dan memunculkan tak satu pun teologi? Dalam pandangan saya, inilah fungsi terpenting seni dan ilmu, yaitu, untuk membangkitkan perasaan ini dan memeliharanya agar tetap hidup pada orang-orang yang dapat menerimanya. Dengan demikian, kini kita sampai kepada suatu konsepsi yang sangat berbeda dari biasanya tentang hubungan antara ilmu dan agama. Jika seseorang melihat masalah ini secara historis, ia akan cenderung untuk melihat ilmu dan agama sebagai dua hal yang saling berlawanan yang tak dapat didamaikan – dan ada alasan yang jelas untuk ini.

Manusia Religius

Selama periode awal evolusi spritual umat manusia, khayalan manusia telah menciptakan Tuhan-Tuhan dalam citra manusia sendiri, yang – dengan berlangsungnya kehendak mereka – ingin menentukan, atau paling tidak mempengaruhi sampai tingkat tertentu, dunia fenomenal. Manusia berusaha mengubah ketentuan Tuhan-Tuhan ini untuk kebaikan mereka sendiri dengan cara magis dan penyembahan. Gagasan Tuhan pada saat ini adalah penghalusan dari konsep lama tentang Tuhan-Tuhan. Sifat antropomorfisnya tampak, misalnya, pada kenyataan bahwa manusia memuja Wujud Ilahiah dalam sembahyang-sembahyangnya, dan memohon dipenuhinya keinginan-keinginan mereka.
Sudah pasti, tak seorang pun akan menolak gagasan adanya suatu Tuhan personal yang mahakuasa, adil, dan maha pemurah dapat menjadi pelipur lara, pemberi bantuan dan pembimbing manusia; juga, disebabkan sederhananya gagasan itu, ia dapat dipahami oleh orang yang pikirannya paling lemah sekalipun. Tapi, di pihak lain, ada kelemahan yang amat penting dalam gagasan antropomorfis ini sendiri, yang terasa amat menyakitkan sejak permulaan sejarah. Yaitu bahwa jika Wujud ini mahakuasa, maka setiap peristiwa, termasuk setiap perbuatan manusia, setiap pikiran manusia, dan setiap perasaan dan aspirasi manusia adalah juga karya-Nya; bagaimana mungkin kita berpendapat bahwa manusia bertanggung jawab atas semua perbuatannya dan pemikirannya di depan Wujud mahakuasa seperti itu? Dalam memberikan hukuman dan ganjaran, Ia akan melewati penilaian terhadap diri-Nya sendiri. Bagamana ini dapat dikombinasikan dengan kebaikan dan kemurahan yang menjadi sifat-Nya? Sumber utama dari pertentangan masa ini antara ilmu dan agama terletak pada konsep Tuhan yang personal ini.
Orang yang yakin sepenuhnya pada berlakunya hukum sebab akibat secara unuversal, tak akan bisa menganut suatu gagasan tentang satu wujud yang ikut campur dalam terjadinya peristiwa-peristiwa tentunya, dengan syarat ia memperlakukan hipotesis sebab-akibat itu secara serius. Ia tidak butuh lagi agama-takut, begitu juga agama-moral. Suatu Tuhan yang memberi ganjaran dan menghukum, tidak dapat lagi dipahaminya, karena alasan sederhana bahwa segala perbuatan manusia sudah ditentukan harus dilakukan, sehingga di mata Tuhan ia tak dapat bertanggung jawab – persis sama sebagaimana halnya suatu benda mati tak bertanggung jawab atas gerakan-gerakan yang dijalaninya. Demikianlah, maka ilmu telah dituduh menghancurkan moralitas, tapi tuduhan itu tidaklah adil. Perilaku etis manusia harus didasarkan secara efektif pada simpati, pendidikan, hubungan sosial, dan kebutuhan-kebutuhan; tak diperlukan dasar agama. Manusia pasti akan menjadi miskin kalau ia harus dikekang oleh perasaan takut akan hukuman dan harapan akan ganjaran setelah mati. Maka, mudah Kita pahami mengapa gereja selalu memerangi ilmu dan mendukung para pendukungnya, di pihak lain perasaan religius kosmik merupakan motif paling kuat dan mulia bagi penelitian keilmuan. Hanya mereka yang mengerti usaha yang luar biasa dan pengabdian yang telah mewujudkan semua karya pionir dalam ilmu teoritis, yang dapat menangkap kekuatan emosi yang karenanya karya-karya tersebut - yang begitu jauh dari kenyataan hidup sehari-hari dapat tercipta.
Betapa dalamnya keyakinan tentang rasionalitas alam semesta, dan betapa kuatnya dorongan untuk memahami yang pasti dimiliki Kopler dan Newton sehingga mereka dapat bertahan dalam kerja sunyinya yang bertahun tahun untuk menguraukan prinsip-prinsip mekanik alam semesta. Mereka yang pengalamannya dalam penelitian keilmuan didapat dari terutama hasil-hasil praktisnya dengan mudah mengembangkan gagasan yang sama sekali salah tentang mentalitas manusia yang – dalam lingkungan alam skeptis – telah menunjukkan dalam sesamanya suatu semangat yang terserak keseluruh dunia dan sepanjang masa. Hanya sesorang yang mengabdikan hidupnya yang gamblang dengan apa yang telah mengilhami orang-orang itu dan yang memberi mereka kekuatan untuk tetap setia kepada tujuan-tujuan mereka, meski mengalami kegagalan-kagagalan yang tak terhitung adalah perasaan religius-kosmik yang memberi seseorang kekuatan semacam itu. Seorang dari zaman kita telah mengatakan bahwa yang materialistik ini hanyalah pekerja ilmu yang serius yang benar –benar merupakan orang religius.

Agustus 04, 2010

Eksistensi Budaya Maja Labo Dahu pada masyarakat Bima

Oleh: Agris Susanto

Pada kesempatan ini penulis ingin mengulas serta merefresh ingatan kita akan budaya Maja Labo Dahu yang Melekat pada karateristik masyarakat Bima, yakni mengenai eksistensi Budaya Bima di arus globalisasi yang kita kenal dengan era modernitas.
Berbicara tentang Budaya, maka kita tidak terlepas dari makna dan karateristik budaya local kita yang menjadi ciri khas dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Kata budaya berasal dari kata Buddhaya (Bahasa Sansekerta) yaitu bentuk jamak dari kata Budhi yang berarti “Budi atau akal”.
Dalam bahasa asing, budaya; culture (Inggris), Cultuur (Belanda) atau Kultuur (Jerman) yang pada dasarnya berasal dari bahasa latin (Colere) yang artinya pemeliharaan, pengolahan, dan penggarapan tanah menjadi tanah pertanian, dalam arti kiasan; Pembentukkan dan pemurnian. Culture dan Cultuur artinya budaya sedangkan Cultural atau culturele artinya kebudayaan. Budaya adalah kata benda dan kebudayaan adalah kata sifat. Jadi menurut hemat penulis, kedua kata tersebut di atas tidak dapat dipisahkan. Oleh karenanya ketika kita berbicara tentang budaya, maka arah kajian kita juga akan menjurus pada kebudayaan itu sendiri.
Menurut E.B. Taylor, Kebudayaan adalah mencakup ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Dari pendapat di atas bias disimpulkan bahwa kebudayaan itu tidak diperoleh secara biologis, tetapi melainkan diperoleh berdasarkan kebiasaan-kebiasaan hidup suatu masyarakat (society) itu sendiri.

Semboyan Budaya
Bima adalah salah satu suku yang berada dibagian timur provinsi NTB. Daerah kecil ini memilki sumber budaya alam yang cukup beraneka ragam, mulai dari penghasilan padi, kol, kedelai serta sayur-mayur lainnya dan yang tak kalah penting adalah penghasilan bawang merah yang selalu menjadi komoditi bisnis terbesar di tanah bima tersebut. Corak kebudayaan bercocok tanam inipun sudah di mulai oleh masyarakat bima sejak dulu.
Berbicara tentang semboyan hidup, tanah Bima pastilah memilkinya. Semboyan hidup tersebut pun menjadi ciri khas masyarakat setempat ketika melakukan interaksi dan komunikasi antar sesama serta menjadi ciri khas kedaerahan bagi mereka. Falsafah Jawa menggunakan HANACARAKA sebagai semboyan hidup mereka yang merupakan salinan aturan dari Tuhan Yang Maha Esa, tetapi lain halnya dengan Bima, semboyan yang mereka miliki ialah Maja Labo Dahu. Setiap aturan yang berdasarkan budaya ataupun hasil karya manusia adalah tidak akan pernah lepas dari aturan tuhan, mulai dari undang-undang Negara sampai pada tataran kebudayaan seperti yang dimilki oleh Bima itu sendiri. Kata Maja berarti Takut, Labo berarti dan serta Dahu berarti Takut. Jika kita meninjau kata di atas secara semantik atau maknawi, Maja (malu) bermaknakan bahwa orang ataupun masyarakat Bima akan malu ketika melakukan sesuatu diluar daripada koridor tuhan, apakah itu kejahatan, perbuatan dosa dan lain sebagainya baik yang berhubungan dengan manusia ataupun terhadap tuhannya. Dahu (takut), hamper memilki proses interpretasi yang sama dengan kata Malu tersebut. Sama-sama takut ketika melakukan sesuatu kejahatan ataupun keburukan. Sebagai tambahan bahwa, orang Bima akan malu dan takut pulang ke kampung halaman mereka ketika mereka belum berhasil di tanah rantauan.
Kalau kita telusuri berdasarkan sejarahnya, falsafah hidup ini sudah di dengungkan sejak Zaman kerajaan dulu. Sehingga pada masyarakat Bima, sudah mengenakan jilbab bagi kaum wanita dan mereka sangat menjaga harga diri mereka bahkan mereka sangat takut memperlihatkan bagian tubuh ataupun wajah mereka terhadap laki-laki.
Dulu, yang oleh penulis katakan jilbab adalah sarung yang digunakan untuk menutup aurat mereka. Itu dikenakan dikarenakan mereka memahami betul-betul arti ataupun simbolisasi dari budaya Maja labo Dahu tersebut. Kita mengenalnya sebagai “Budaya Rimpu” atau proses penutupan aurat pada wanita. Oleh karenanya, pada zamannya budaya rimpu merupakan implementasi real dari budaya Maja labo Dahu tersebut.

Era modernitas
Manusia mengenal era modernitas sejak masuk abad 21. Di zaman ini, banyak perubahan signifikan yang dialami oleh masyarakat diberbagi penjuru, tidak terlepas Bima itu sendiri. Berdasarkan kondisi real dunia, Negara bagian timur adalah Negara konsumen terbesar dari hasil produk ekonomi dunia. Salah satunya adalah Indonesia itu sendiri dan di dalamnya ada sosok pulau kecil yakni Bima.
Arus modernitas telah menginfluensi arah pemikiran Negara-negara timur sabagai Negara konsumerime hedonis terhadap produk ekonomi. Mereka cenderung berpikir instant dan berpikir pendek tanpa harus mengetahui asal-muasal dimana mereka memperolehnya. Budaya, style, makanan serta paradigma telah merubah gaya hidup mereka yang dulu cenderung membela diri dan sekarang harus membuka diri menerima setiap pengaruh-pengaruh dari luar yang sifatnya akan menghacurkan mereka.
Salah satu bukti nyata adalah; dulu masyarakat bima sangat kental dengan budayanya yakni Maja labo dahu yang di implementasikan dalam sebuah bentuk budaya rimpu oleh kaum wanita, tetapi sekarang budaya itu mulai sirna seiring perkembangan Zaman. Masyarakat Bima, cenderung malu dan merasa risih dengan berkostum seperti itu, mereka cenderung mengenakan pakaian yang seharusnya tidak harus dipakai. Selain itu, budaya maja labo dahu pun sudah mulai tidak dikenal lagi, banyak pemerkosaan yang terjadi di tanah Bima, perkelahian, perebutan jabatan yang berujung pada perpecahan. Kedaan ini membuktikan kepada kita bahwa maja labo dahu sebagai falsafah budaya Bima sudah tidak bisa kita maknai sebagaimana yang kita kenal.
Memang arus globalisasi dan kapitalisme telah menjangkiti paradigma kita. Kita telah terpojok pada budaya sekuler Amerika yang cenderung memilki paham individualistik. Kita sebagai manusia yang berbudaya hendaknya selalu kembali kepada falsafah hidup ataupun falsafah budaya kita masing-masing. Karena falsafah hidup budaya adalah aturan yang mengajarkan kita terhadap perbaikan moralitas dan agama kita. Karena falsafah hidup budaya kita memiliki kepekaan terhadap tujuan hidup manusianya.
Oleh karenanya, mari kita sadaro kembali, bangun kembali dan amalkan kembali budaya-budaya kita yang telah sirna paling tidak dalam bentuk yang lebih sederhana. Kita jangan mudah terpengaruh dengan budaya luar yang cenderung bersifat kapitalis-hedonis, karena ini akan menghancurkan kita secara perlahan-lahan.

Mei 16, 2010

Ekspresi

Pilihanmu adalah Hidupmu

menentukan sebuah pilihan adalah salah satu keputusan terberat bagi kita semua. ketika kita salah mengambil sebuah pilihan maka kita akan terjerumus dari efek atas pilihan kita tersebut. kita hidup selalu diperhadapkan dengan berbagai macam pilihan dan terkadang juga dari beberapa pilihan, kita harus menjawabnya antara kata ya atau tidak. semisal ketika kita diperhadapakan dengan dua masalah, akan tetapi kita harus menempatkan pilihan kita pada satu masalah saja. sungguh berat rasanya, karena jangan sampai pilihan yang kita ambil akan menjadi boomerang bagi kita. ketika kita barada pada suatu pasar dan kita memilih baju yang sesuai dengan kita, tentu kita akan meninjaunya dari segi apa saja sehingga baju itu pas dan sesuai dengan kita. kadang untuk menentukan pilihan dalam pemelihan baju tersebut membutuhkan pemikiran yang panjang dan waktu yang cukup lama, sehingga ketika kita menjatuhkan pilihan kita pada baju tersebut tidak kita komentari kembali entah baju itu jelek atau bagus. oelh karenanya kita yakin bahwa baju yang kita pilih tersebut sangat sesuai dengan keingina kita.
oleh karenanya, bverkaca dari sedikit contoh di atas maka mari kita menentukan sebuah pilihan kita dengan baik dengan memikirkan asas manfaat ataupun sesuai dengan kebutuhan kita bahkan tidak keluar dari aturan-aturan yang mungkin ada mengatur kita. entah itu pilihan hidup, pilihan kerja ataupun pilihan masalah pasangan.
dari itu, pilihan adalah sebuah resiko yang harus kita jalani dan harus kita pertanggunggjawabkan.
mudah-mudahan kita memilih sesuatu ataupun segalanya secara tepat dan tanpa menimbulkan efek rugi ataupun cacat terhadap diri kita sendiri... semoga....!!!

Maret 08, 2010

profil kabupaten bima

Kabupaten Bima

Bima beralih ke halaman ini. Untuk Kota yang bernama sama, lihat pula Kota Bima. Untuk kegunaan lain dari Bima, lihat Bima (disambiguasi).
Kabupaten Bima adalah sebuah kabupaten di Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Ibu kotanya ialah Woha.

Kabupaten Bima

Lambang Kabupaten Bima




Motto
Maja Labo Dahu
Provinsi
Nusa Tenggara Barat

Ibu kota
Woha

Luas 4.389.4 km²

Penduduk

• Jumlah 419.302 jiwa
• Kepadatan 96 jiwa/km²

Pembagian administratif

• Kecamatan
14
• Desa/kelurahan
150
Dasar hukum PP Nomor 41 Tahun 2007
Bupati
Ferry Zulkarnain,ST
Kode area telepon
0374
APBD
Rp. 19,17 miliar (2006)
________________________________________

Sejarah singkat

Kabupaten Bima berdiri pada tanggal 5 Juli 1640 M, ketika Sultan Abdul Kahir dinobatkan sebagai Sultan Bima I yang menjalankan Pemerintahan berdasarkan Syariat Islam. Peristiwa ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Bima yang diperingati setiap tahun. Bukti-bukti sejarah kepurbakalaan yang ditemukan di Kabupaten Bima seperti Wadu Pa’a, Wadu Nocu, Wadu Tunti (batu bertulis) di dusun Padende Kecamatan Donggo menunjukkan bahwa daerah ini sudah lama dihuni manusia. Dalam sejarah kebudayaan penduduk Indonesia terbagi atas bangsa Melayu Purba dan bangsa Melayu baru. Demikian pula halnya dengan penduduk yang mendiami Daerah Kabupaten Bima, mereka yang menyebut dirinya Dou Mbojo, Dou Donggo yang mendiami kawasan pesisir pantai. Disamping penduduk asli, juga terdapat penduduk pendatang yang berasal dari Sulawesi Selatan, Jawa, Madura, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur dan Maluku.
Kerajaan Bima dahulu terpecah -pecah dalam kelompok-kelompok kecil yang masing-masing dipimpin oleh Ncuhi. Ada lima Ncuhi yang menguasai lima wilayah yaitu : 1. Ncuhi Dara, memegang kekuasaan wilayah Bima Tengah 2. Ncuhi Parewa, memegang kekuasaan wilayah Bima Selatan 3. Ncuhi Padolo, memegang kekuasaan wilayah Bima Barat 4. Ncuhi Banggapupa, memegang kekuasaan wilayah Bima Utara 5. Ncuhi Dorowani, memegang kekuasaan wilayah Bima Timur. Kelima Ncuhi ini hidup berdampingan secara damai, saling hormat menghormati dan selalu mengadakan musyawarah mufakat bila ada sesuatu yang menyangkut kepentingan bersama. Dari kelima Ncuhi tersebut, yang bertindak selaku pemimpin dari Ncuhi lainnya adalah Ncuhi Dara. Pada masa-masa berikutnya, para Ncuhi ini dipersatukan oleh seorang utusan yang berasal dari Jawa. Menurut legenda yang dipercaya secara turun temurun oleh masyarakat Bima. Cikal bakal Kerajaan Bima adalah Maharaja Pandu Dewata yang mempunyai 5 orang putra yaitu : 1. Darmawangsa 2. Sang Bima 3. Sang Arjuna 4. Sang Kula 5. Sang Dewa. Salah seorang dari lima bersaudara ini yakni Sang Bima berlayar ke arah timur dan mendarat disebuah pulau kecil disebelah utara Kecamatan Sanggar yang bernama Satonda. Sang Bima inilah yang mempersatukan kelima Ncuhi dalam satu kerajaan yakni Kerajaan Bima, dan Sang Bima sebagai raja pertama bergelar Sangaji. Sejak saat itulah Bima menjadi sebuah kerajaan yang berdasarkan Hadat, dan saat itu pulalah Hadat Kerajaan Bima ditetapkan berlaku bagi seluruh rakyat tanpa kecuali. Hadat ini berlaku terus menerus dan mengalami perubahan pada masa pemerintahan raja Ma Wa’a Bilmana. Setelah menanamkan sendi-sendi dasar pemerintahan berdasarkan Hadat, Sang Bima meninggalkan Kerajaan Bima menuju timur, tahta kerajaan selanjutnya diserahkan kepada Ncuhi Dara hingga putra Sang Bima yang bernama Indra Zamrud sebagai pewaris tahta datang kembali ke Bima pada abad XIV/ XV.

Hubungan darah Bima-Bugis-Makassar

Hubungan keakrabatan dan kekeluargaan yang terjalin selama kurun waktu 1625 - 1819 (194 tahun) pun terputus hingga hari ini. Hubungan kekeluargaan antara dua kesultanan besar dikawasan Timur Indonesia yaitu Kesultanan Gowa dan Kesultanan Bima terjalin sampai pada turunan yang ke- VII. Hubungan ini merupakan perkawinan silang antara Putra Mahkota Kesultanan Bima dan Putri Mahkota Kesultanan Gowa terjalin sampai turunan ke- VI. Sedangkan yang ke- VII adalah pernikahan Putri Mahkota Kesultanan Bima dan Putra Mahkota Kesultanan Gowa.
Ada beberapa catatan yang kami temukan, bahwa pernikahan Salah satu Keturunan Sultan Ibrahim (Sultan Bima ke- XI) masih terjadi dengan keturunan Sultan Gowa. Sebab pada tahun 1900 (pada kepemimpinan Sultan Ibrahim), terjadi acara melamar oleh Kesultanan Bima ke Kesultanan Gowa. Mahar pada lamaran tersebut adalah Tanah Manggarai. Sebab Manggarai dikuasai oleh kesultanan Bima sejak abad 17.

Geografi

Letak


Kabupaten Bima merupakan salah satu Daerah Otonom di Provinsi Nusa Tenggara Barat, terletak diujung timur dari Pulau Sumbawa bersebelahan dengan Kota Bima (pecahan dari Kota Bima). Secara geografis Kabupaten Bima berada pada posisi 117°40”-119°10” Bujur Timur dan 70°30” Lintang Selatan.[1]

Topografi

Secara topografis wilayah Kabupaten Bima sebagian besar (70%) merupakan dataran tinggi bertekstur pegunungan sementara sisanya (30%) adalah dataran. Sekitar 14% dari proporsi dataran rendah tersebut merupakan areal persawahan dan lebih dan separuh merupakan lahan kering. Oleh karena keterbatasan lahan pertanian seperti itu dan dikaitkan pertumbuhan penduduk kedepan, akan menyebabkan daya dukung lahan semakin sempit. Konsekuensinya diperlukan transformasi dan reorientasi basis ekonomi dari pertanian tradisional ke pertanian wirausaha dan sektor industri kecil dan perdagangan. Dilihat dari ketinggian dari permukaàn laut, Kecamatan Donggo merupakan daerah tertinggi dengan ketinggian 500 m dari permukaan laut, sedangkan daerah yang terendah adalah Kecamatan Sape dan Sanggar yang mencapai ketinggian hanya 5 m dari permukaan laut.
Di Kabupaten Bima terdapat empat buah gunung yakni Gunung Tambora di Kecamatan Tambora, Gunung Sangiang di Kecamatan Wera, Gunung Maria di Kecarnatan Wawo. dan yang tertinggi adalah Gunung Soromandi di Kecamatan Donggo dengan ketinggian 4.775 m.


Batas wilayah

Kabupaten Bima terletak di bagian timur Pulau Sumbawa, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
Utara
Laut Flores

Selatan
Samudera Indonesia

Barat
Kabupaten Dompu

Timur
Selat Sape


Pemekaran 2007

Pada tahun 2007, terjadi pemekaran wilayah dengan penambahan 4 kecamatan baru, yaitu:
1. Parado
2. Lambitu
3. Soromandi
4. Pali'belo

sehingga sekarang Bima memiliki jumlah kecamatannya menjadi 18.


Luas wilayah

Luas wilayah setelah pembentukan Daerah Kota Bima berdasarkan Undang-undang Nomor 13 tahun 2002 adalah seluas 437.465 Ha atau 4.394,38 Km² (sebelum pemekaran 459.690 Ha atau 4.596,90 Km²), dengan jumlah penduduk 419.302 jiwa dengan kepadatan rata-rata 96 jiwa/Km².

Iklim dan cuaca

Wilayah Kabupaten Bima beriklim tropis dengan rata-rata curah hujan relatif pendek. Keadaan curah hujan tahunan rata-rata tercatat 58.75 mm, maka dapat disimpulkan Kabupaten Bima adalah daerah berkategori kering sepanjang tahun yang berdampak pada kecilnya persediaan air dan keringnya sebagian besar sungai.Curah hujan tertinggi pada bulan Februari tercatat 171 mm dengan hari hujan selama 15 hari dan musim kering terjadi pada bulan Juli, Agustus dan September dimana tidak tejadi hujan. Kabupaten Bima pada umumnya memiliki drainase yang tergenang dan tidak tergenang. Pengaruh pasang surut hanya seluas 1.085 Ha atau 0,02% dengan lokasi terbesar di wilayah pesisir pantai. Sedangkan luas lokasi yang tergenang terus menerus adalah seluas 194 Ha. yaitu wilayah Dam Roka, Dam Sumi dan Dam Pelaparado. Sedangkan Wilayah yang tidak pernah tergenang di Kabupaten Bima adalah seluas 457.989 Ha.