Cari Blog Ini

Agustus 11, 2010

Lakon aktivis yang “mendua”

oleh : Nurkhalis IR

Jika sekiranya catatan sejarah gerakan mahasiswa dalam perjalanan bangsa ini disatukan menjadi sebuah buku maka, tentunya kita tak sampai membayangkan seperti apa tebal buku tersebut. Dengan kata lain mungkin saja sulit menderetkan sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia ini kedalam satu ruang dokumentasi yang otentik dan holistik, sebab yang ada hanyalah rekaman “rekaan sejarah” dari berbagai versi penafsiran sepihak, yang tentunya tergantung pada apa yang dibutuhkan “sepihak” itu dari hasil pemaknaanya terhadap sebuah sejarah dimasa lalu. Kalaupun diantara kita ada yang butuh dengan salah satu rekaan sejarah yang pernah ada, mungkin saja selanjutnya akan sulit lagi mempertarungkannya dengan kesadaran sejarah masyarakat kita hari ini.
Dewasa ini nyaris tak mungkin lagi kita akan mempertanyakan; siapa kita?, dari mana kita hadir?, mengapa hari ini kita “seperti ini”? dengan menempatkan “dokumen sejarah” sebagai sebuah entitas baku dimana proses penafsiran akan harus merujuk sepenuhnya. Sebab yang mungkin akan diperoleh dari situ adalah tidak jauh dari ketersesatan sebelumnya kita dalam memahami sejarah, khususnya dalam ranah gerakan mahasiswa. Kenyataan tersebut tanpa disadari justru telah berlangsung lama ditengah-tengah seluruh aspek kehidupan masyarakat negeri ini, yang kemudian men-kostruk mind set bangsa ini menjadi bangsa yang hanglose dan tak punya bentuk.
Tapi lihatlah kenyataan bahwa sampai hari ini masih banyak kalangan masyarakat kita yang menggantungkan penjelasan tentang dirinya dan realitas kebudayaannya dengan menjadikan sejarah seutuhnya sebagai rumus pencari dan pemberi jawaban yang tepat. Bukankah dengan demikian pada saatnya kini dan mungkin sampai nanti kita akan terus menjadi bangsa yang tersesat memaknai sejarah kebudayaannya sendiri, hingga meskipun bangsa lain telah sibuk berdebat soal strategi kebudayaan mutakhir diera sekarang, kita justru masih bertekuk pada persoalan-persoalan mendasar yang harusnya sudah sejak dulu terselesaikan. Ataukah mungkin juga kita memang tak pernah punya mozaik kebudayaan seperti yang umunya dimiliki Negara-negara di eropa dan amerika?.

Revolusi; sejarah mimpi, ataukah…
Sudah menjadi pengetahuan banyak kalangan sejak dahulu bahwa sejarah pergolakan mahasiswa dalam memotori perubahan sosial serta sistem-struktur dibeberapa Negara telah membawa implikasi besar dalam memacu perkembangan disegala sektor pembangunan. Pemerintah di Negara-negara semisal Jerman, kuba dan cina yang kini sudah tergolong sebagai Negara maju tentu tak bisa melepaskan catatan sejarah tentang peran mahasiswa dalam menggagas cita-cita perubahan di negerinya, meskipun juga patut diakui bahwa dewasa ini banyak kalangan aktivis mahasiswa yang tidak lagi terlalu merasa penting belajar pada sejarah kesuksesan pendahulunya.
Di indonesia kita juga mengenal banyak angkatan gerakan mahasiswa sejak tahun-tahun sebelum proklamasi kemerdekaan sampai sekarang. Setiap angkatan pada umumnya menegaskan eksistensi dan kontribusinya lewat peristiwa-peristiwa monumental yang hingga hari ini masih sering kali diperingati, sebutlah angkatan 66 dengan peristiwa G/30/S/PKI, peristiwa malari, reformasi 98 dan sebagainya. Hanya saja bangsa ini tidak memiliki konsep pemahaman yang mapan dalam memaknai sejarah, oleh sebab itu kini cita-cita perubahan yang mendasar pada negeri ini tidak lebih dari semacam nostalgia tentang hari esok. Menjual mimpi yang tak terbeli.
Kita tak bisa berkelit bahwa dewasa ini masyarakat memang lebih cenderung memaknai sejarah diatas dengan trauma berlebihan pada konsekuensi fatal yang telah terjadi, kenyataannya kita menjadi ciut dan penakut. Trauma yang berlebihan juga menjadikan bangsa ini tak segan-segan berkhianat pada hati nuraninya sendiri, berbohong pada apa yang dikatakan naluri kemanusiaannya. Dengan itu kita (mahasiswa) nyaris tak mungkin bisa melacak keberhasilan gerakan intelektualnya untuk bangsa ini dimasa depan, rupa mental bangsa ini telah berubah menjadi gergasi pembohong, penghianat, pelacur dan bebal. Disisi lain bangsa ini juga telah membangun sikap over pesimistik yang menjadikan nalar berpikir kita buntu, membunuh mimpi-mimpi besar akan tercapainya revolusi suatu hari nanti yang tidak lama lagi.
Singkatnya, kesadaran kedirian dan keyakinan kita pada spirit serta upaya yang lebih progresif merubah realitas berbangsa dan bernegara kini telah tercerabut dari diri kita semua. Halayak bangsa ini telah berubah paradigma menjadi luar biasa pragmatisnya, menjamurlah kemudian kini mahasiswa dan atau aktivis-aktivis organik dengan seribu macam kemunafikannya, yang berteriak lantang akan memperjuangkan agenda perlawanan terhadap penindasan dan pembodohan ketika berada dihadapan masyarakat lemah, tapi ditempat lain, dihadapan setumpuk rupiah dan tawaran sederet jabatan strategis oleh penguasa, mereka justru membelah diri menjadi pengkhianat yang berbalik arah.
Realitas yang demikian tentu bukan lagi hal yang sulit ditemui, simaklah para legislator kita misalnya, ataukah para pemimpin-pemimpin dan elite negara yang dahulunya pernah keras melawan rezim penguasa tiran, tapi ketika duduk dikursi dewan atau kursi kekuasaan lainnya, mereka bahkan lebih sadis menghianati rakyatnya yang lemah. Menarik mengutip pernyataan salah seorang sastrawan negeri ini yang mengatakan bahwa “perjuangan kita hari ini adalah perjuangan melawan lupa”, yang dimaksudkan tentunya adalah lupa pada banyak hal; lupa pada janji-janji saat mungkin berkampanye ditengah rakyat, lupa pada asal muasal diri kita yang nantinya jua pasti akan kembali kesana, lupa pada situasi disekitar, dan masih banyak lagi bentuk lupa yang hampir seluruhnya adalah tidak baik jika terjadi pada siapapun. Terlebih lagi jika lupa yang disengaja, haram hukumnya.
Fenomena venalitas yang dewasa ini banyak dilakoni eks aktivis (mahasiswa) telah menjadi fakta konkrit betapa rusaknya mental bangsa ini, serta betapa tak segan-segannya idealisme kita “mendua” hanya karena alasan-alasan murahan seperti materi dan kekuasaan. Dan yang tak kalah mengerikannya karena posisi mahasiswa dan atau aktivis yang dikultuskan sebagai social control tetap tersemat sampai hari ini, hingga ruang sosial masyarkat menjadi latah pada realitas buruk yang ada pada kalangan tersebut. Inilah mungkin yang diramalkan prof. Nadjamuddin alm (mantan dosen UH) sekitar awal tahun 2000 silam bahwa suatu hari nanti yang beliau sendiri tak tau kapan tepatnya, akan terjadi kebiadaban kolektif dinegeri ini.
Ditambahkannya lagi bahwa ketika saat itu telah berlangsung maka tanah air Indonesia ini harus ”dicuci dengan darah” jika ingin baik selanjutnya, entah mungkin memang haruskan demikian adanya?, sejarah kini sepertinya tak lagi sudi dimintai jawaban untuk itu. Bukankah lakon “mendua” yang selama ini kita perankan adalah sebuah bentuk penodaan terhadap sejarah pergolakan para pendahulu yang digagas dengan spirit kesatuan kata dan gerak, tidak seperti kita yang selalu menganggap remeh sebuah ketidakjujuran dan penghianatan. Andakah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar