Cari Blog Ini

Agustus 04, 2010

Eksistensi Budaya Maja Labo Dahu pada masyarakat Bima

Oleh: Agris Susanto

Pada kesempatan ini penulis ingin mengulas serta merefresh ingatan kita akan budaya Maja Labo Dahu yang Melekat pada karateristik masyarakat Bima, yakni mengenai eksistensi Budaya Bima di arus globalisasi yang kita kenal dengan era modernitas.
Berbicara tentang Budaya, maka kita tidak terlepas dari makna dan karateristik budaya local kita yang menjadi ciri khas dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Kata budaya berasal dari kata Buddhaya (Bahasa Sansekerta) yaitu bentuk jamak dari kata Budhi yang berarti “Budi atau akal”.
Dalam bahasa asing, budaya; culture (Inggris), Cultuur (Belanda) atau Kultuur (Jerman) yang pada dasarnya berasal dari bahasa latin (Colere) yang artinya pemeliharaan, pengolahan, dan penggarapan tanah menjadi tanah pertanian, dalam arti kiasan; Pembentukkan dan pemurnian. Culture dan Cultuur artinya budaya sedangkan Cultural atau culturele artinya kebudayaan. Budaya adalah kata benda dan kebudayaan adalah kata sifat. Jadi menurut hemat penulis, kedua kata tersebut di atas tidak dapat dipisahkan. Oleh karenanya ketika kita berbicara tentang budaya, maka arah kajian kita juga akan menjurus pada kebudayaan itu sendiri.
Menurut E.B. Taylor, Kebudayaan adalah mencakup ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Dari pendapat di atas bias disimpulkan bahwa kebudayaan itu tidak diperoleh secara biologis, tetapi melainkan diperoleh berdasarkan kebiasaan-kebiasaan hidup suatu masyarakat (society) itu sendiri.

Semboyan Budaya
Bima adalah salah satu suku yang berada dibagian timur provinsi NTB. Daerah kecil ini memilki sumber budaya alam yang cukup beraneka ragam, mulai dari penghasilan padi, kol, kedelai serta sayur-mayur lainnya dan yang tak kalah penting adalah penghasilan bawang merah yang selalu menjadi komoditi bisnis terbesar di tanah bima tersebut. Corak kebudayaan bercocok tanam inipun sudah di mulai oleh masyarakat bima sejak dulu.
Berbicara tentang semboyan hidup, tanah Bima pastilah memilkinya. Semboyan hidup tersebut pun menjadi ciri khas masyarakat setempat ketika melakukan interaksi dan komunikasi antar sesama serta menjadi ciri khas kedaerahan bagi mereka. Falsafah Jawa menggunakan HANACARAKA sebagai semboyan hidup mereka yang merupakan salinan aturan dari Tuhan Yang Maha Esa, tetapi lain halnya dengan Bima, semboyan yang mereka miliki ialah Maja Labo Dahu. Setiap aturan yang berdasarkan budaya ataupun hasil karya manusia adalah tidak akan pernah lepas dari aturan tuhan, mulai dari undang-undang Negara sampai pada tataran kebudayaan seperti yang dimilki oleh Bima itu sendiri. Kata Maja berarti Takut, Labo berarti dan serta Dahu berarti Takut. Jika kita meninjau kata di atas secara semantik atau maknawi, Maja (malu) bermaknakan bahwa orang ataupun masyarakat Bima akan malu ketika melakukan sesuatu diluar daripada koridor tuhan, apakah itu kejahatan, perbuatan dosa dan lain sebagainya baik yang berhubungan dengan manusia ataupun terhadap tuhannya. Dahu (takut), hamper memilki proses interpretasi yang sama dengan kata Malu tersebut. Sama-sama takut ketika melakukan sesuatu kejahatan ataupun keburukan. Sebagai tambahan bahwa, orang Bima akan malu dan takut pulang ke kampung halaman mereka ketika mereka belum berhasil di tanah rantauan.
Kalau kita telusuri berdasarkan sejarahnya, falsafah hidup ini sudah di dengungkan sejak Zaman kerajaan dulu. Sehingga pada masyarakat Bima, sudah mengenakan jilbab bagi kaum wanita dan mereka sangat menjaga harga diri mereka bahkan mereka sangat takut memperlihatkan bagian tubuh ataupun wajah mereka terhadap laki-laki.
Dulu, yang oleh penulis katakan jilbab adalah sarung yang digunakan untuk menutup aurat mereka. Itu dikenakan dikarenakan mereka memahami betul-betul arti ataupun simbolisasi dari budaya Maja labo Dahu tersebut. Kita mengenalnya sebagai “Budaya Rimpu” atau proses penutupan aurat pada wanita. Oleh karenanya, pada zamannya budaya rimpu merupakan implementasi real dari budaya Maja labo Dahu tersebut.

Era modernitas
Manusia mengenal era modernitas sejak masuk abad 21. Di zaman ini, banyak perubahan signifikan yang dialami oleh masyarakat diberbagi penjuru, tidak terlepas Bima itu sendiri. Berdasarkan kondisi real dunia, Negara bagian timur adalah Negara konsumen terbesar dari hasil produk ekonomi dunia. Salah satunya adalah Indonesia itu sendiri dan di dalamnya ada sosok pulau kecil yakni Bima.
Arus modernitas telah menginfluensi arah pemikiran Negara-negara timur sabagai Negara konsumerime hedonis terhadap produk ekonomi. Mereka cenderung berpikir instant dan berpikir pendek tanpa harus mengetahui asal-muasal dimana mereka memperolehnya. Budaya, style, makanan serta paradigma telah merubah gaya hidup mereka yang dulu cenderung membela diri dan sekarang harus membuka diri menerima setiap pengaruh-pengaruh dari luar yang sifatnya akan menghacurkan mereka.
Salah satu bukti nyata adalah; dulu masyarakat bima sangat kental dengan budayanya yakni Maja labo dahu yang di implementasikan dalam sebuah bentuk budaya rimpu oleh kaum wanita, tetapi sekarang budaya itu mulai sirna seiring perkembangan Zaman. Masyarakat Bima, cenderung malu dan merasa risih dengan berkostum seperti itu, mereka cenderung mengenakan pakaian yang seharusnya tidak harus dipakai. Selain itu, budaya maja labo dahu pun sudah mulai tidak dikenal lagi, banyak pemerkosaan yang terjadi di tanah Bima, perkelahian, perebutan jabatan yang berujung pada perpecahan. Kedaan ini membuktikan kepada kita bahwa maja labo dahu sebagai falsafah budaya Bima sudah tidak bisa kita maknai sebagaimana yang kita kenal.
Memang arus globalisasi dan kapitalisme telah menjangkiti paradigma kita. Kita telah terpojok pada budaya sekuler Amerika yang cenderung memilki paham individualistik. Kita sebagai manusia yang berbudaya hendaknya selalu kembali kepada falsafah hidup ataupun falsafah budaya kita masing-masing. Karena falsafah hidup budaya adalah aturan yang mengajarkan kita terhadap perbaikan moralitas dan agama kita. Karena falsafah hidup budaya kita memiliki kepekaan terhadap tujuan hidup manusianya.
Oleh karenanya, mari kita sadaro kembali, bangun kembali dan amalkan kembali budaya-budaya kita yang telah sirna paling tidak dalam bentuk yang lebih sederhana. Kita jangan mudah terpengaruh dengan budaya luar yang cenderung bersifat kapitalis-hedonis, karena ini akan menghancurkan kita secara perlahan-lahan.

3 komentar:

  1. bsa anda paparkan g ,mengenai lahirnya falsafah maja labo dahu tsb ??

    BalasHapus
  2. sebenarnya falsafah 'maja labo dahu' adalah pesan yang disampaikan oleh ABDUL KAHIR (La Ka'i)sebagai raja yang dinobatkan oleh para punggawa kerajaan ketiaka kerajaan Bima ingin dikuasai oleh pamannya sendiri (Salisi)yang sangat menginginkan menjadi raja. dan setelah kerajaan ima mampu di ambil kembalai oleh La ka'i maka Islam pun masuk di tanah Bima dan kerajaan beralih menjadi kesultanan. Pada saat inilah, sebagi rajak Sultan yang Bijak La Ka'i menyampaikan pesan pada masyarakatnya untuk senantiasa menggalakkan semboyan 'Maja labo dahu' dengan tindakkan. Maja Labo dahu bermaknakan, malu jikalau tidak melakukan sebuah kebaikan dan takut jika melakukan hal-hal jahat. kaitan dengan apa yang penulis katakan adalah membuka aurat juga merupakan hal-hal jahat bagi perempuan oleh karenanya rimpu pada zaman itu sangatlah di anjurkan. islam sekarang sudah tergeser dari maknanya... mudah-mudahan bang joel paham...

    BalasHapus
  3. Mantabbbbbbbbbbbb ? jd kangen kampung,,,

    BalasHapus