Cari Blog Ini

Agustus 11, 2010

Drama dan Perkembangannya

oleh : Theresia Ninung P.

Drama adalah karya sastra yang ditulis untuk dipentaskan. Orang seringkali bingung membedakan antara drama, yang berkaitan dengan teks tertulis, atau naskah, atau script, untuk pementasan, dengan teater, yang menyangkut pementasan naskah drama atau script tersebut. Banyak sekali karya sastra terkenal, berpengaruh besar, serta bergengsi, ditulis dalam bentuk drama. Mulai dari tragedi-tragedi Yunani tentang Aeschylus, Sopochles, dan Euripides dan berkembang terus hingga drama-drama besar karya William Shakespeare dari Inggris, Moliere dari Perancis, Johan Wolfgang von Goethe dari Jerman, Henrik Ibsen dari Norwegia, dan August Strindberg dari Swedia. Di Barat, penghargaan terhadap drama begitu tinggi. Dalam perkembangannya drama semakin mendapat tempat karena naskah-naskah tidak lagi hanya dipentaskan di panggung seperti Broadway, tetapi juga diangkat ke layar kaca atau layar lebar. Dengan semakin canggihnya perfilman, para penulis drama atau script film mendapat penghargaan yang tinggi pula karena sehebat apapun sebuah film, pada mulanya dia adalah sebuah screenplay atau script yang digarap sedemikian rupa oleh seorang sutradara beserta seluruh crew pembuat film (film maker). Jadi sebuah film dibuat oleh banyak orang, mulai dari penulis naskah dramanya (script writer), produser, sutradara, kameraman, hingga sopir yang membantu team pergi syuting ke sana kemari.
Ciri-ciri Drama
Kebanyakan karya sastra, termasuk novel, cerpen, puisi, sengaja ditulis untuk disuguhkan sebagai bacaan, baik untuk dibaca dalam hati maupun sambil menyendiri. Meskipun drama bisa juga dibaca dengan cara seperti itu, namun pada dasarnya drama ditulis untuk dipentaskan di hadapan pemirsa atau di hadapan umum oleh sekelompok pemain yang masing-masing berpura-pura menjadi salah satu tokoh yang ada dalam cerita drama itu. Drama-drama yang lebih kuno lagi, misalnya yang ditulis oleh sastrawan-sastrawan Yunani atau oleh William Shakespeare, berisi kata-kata yang diucapkan oleh para pemerannya itu, yang biasa kita kenal sebagai dialog (dialogue). Drama-drama yang lebih modern atau kontemporer tidak hanya berisi materi yang harus diucapkan saja tapi juga menyertakan stage directions yang memberi tahu para aktor dan aktrisnya kapan mereka musti memasuki atau meninggalkan ruang pementasan atau panggung. Drama modern juga memberi saran-saran atau anjuran bagaimana sebaiknya dialog atau baris-barisnya diucapkan, dan menjelaskan kostum apa yang mesti dikenakan serta keadaan lingkungan sekitar (setting) seperti apa yang sebaiknya mendukung drama itu.
Filsuf Yunani terkenal, Aristoteles, yang meletakkan dasar kritik atau studi drama, mengungkapkan teori bahwa drama terdiri atas beberapa elemen dasar berupa plot atau alur, karakter, pikiran, bahasa, dan spektakel. Aristotle menganggap plot—cerita pokok dan bagaimana menceritakannya—adalah elemen yang paling penting diantara elemen-elemen lainnya itu, dan biasanya memang demikian. Meski begitu, bisa dikata, sampai tahap tertentu, hampir semua drama menggunakan elemen-elemen lainnya juga, dan mengungkapkan cerita dengan cara menginteraksikan para tokohnya, yang mengekspresikan pikiran melalui medium bahasa dalam setting visual yang khusus. Bagaimanapun, keseimbangan atau keserasian paduan elemen-elemen tersebut sangat bervariasi tergantung drama macam apa yang diinginkan. Selama beberapa periode dan dalam beberapa tradisi, banyak atau kebanyakan drama menekankan pada elemen lain kecuali plot. Ada beberapa drama yang memfokuskan karakater tertentu atau hubungan antara tokoh-tokoh tertentu, misalnya drama Shakespeare yang berjudul Hamlet (1601?). Drama-drama seperti itu bisa begitu populer karena para pemirsa atau audiens-nya selalu penasaran dan tertarik melihat aktor-aktor atau aktris-aktris favorit mereka menginterpretasikan peran yang begitu penting dan sulit.
Teater Barat juga sudah lama memiliki tradisi menekankan pada pemikiran atau thought. Drama-drama seperti itu kadang memperlakukan tema tertentu dengan sangat khusus dan sering disebut drama filosofis atau thesis plays. Beberapa penulis besar drama modern yang menekankan pada tema atau pemikiran tertentu antara lain George Bernard Shaw dari Inggris atau Ibsen, yang mengetengahkan masalah-masalah sosial pada jamannya, dan Bertolt Brecht dari Jerman, yang drama-dramanya mengkritik Kapitalisme dan membujuk audiens memihak pandangan politiknya yang berbau "kiri" itu.
Bahasa selalu penting dalam drama, dan kadang merupakan elemen yang sangat dominan. Misalnya, penekanan bahasa pada drama liris yang ditulis para penulis drama Romantik Inggris pada awal abad ke-19 dan drama-drama yang dijuluki komedi tingkat tinggi atau comedy of manners, yang banyak bermunculan pada abad ke-17 di Inggris. Traidsi yang terakhir itu menekankan pada nuansa tingkat kehidupan dan perilaku sosial dan biasanya menggunakan dialog yang sengaja dibuat sedemikian rupa sehingga leluconnya cerdas dan menggelitik, penuh dengan perumpamaan dan permainan kata, dan diwarnai oleh aneka bentuk silat lidah yang berkelas.
Jenis drama yang menekankan pada pemandangan atau setting adalah opera, komedi musikal modern, melodrama abad ke19-an, dan setting kerajaan yang terkenal dengan nama masques yang berasal dari Inggris abad ke-16. Pemandangan bisa berujud kostum yang berlebihan, tata panggung yang canggih, and elemen-elemen lainnya yang bisa memperkaya pengalaman visual audiens akan drama yang tengah mereka saksikan.
Jenis-jenis Drama
Jenis-jenis drama yang paling terkenal dan akrab di telinga kita adalah komedi dan tragedi, pembagian yang ditetapkan oleh para dramawan Yunani. Bahkan hingga sekarang topeng-topeng tersenyum dan meratap yang dikenakan para aktor drama Yunani dalam komedi dan tragedi merupakan simbol kedua cabang drama itu. Menurut konsep tradisional, suatu tragedi selalu didominasi oleh tone yang serius, menyangkut kehidupan para raja dan pangeran, berkaitan dengan masalah-masalah yang besar, dan biasanya berakhir dengan kematian tokoh yang penting. Komedi biasanya mengetengahkan kehidupan orang kebanyakan, didominasi oleh tone yang ringan yang menggugah orang untuk tertawa (atau paling tidak merupakan hiburan atau tontonan yang menyenangkan), dan berakhir dengan sesuatu yang membahagiakan, misalnya dengan menyatukan pasangan muda yang saling mencintai.
Selama masa Renaissance (abad ke-14 hingga 17) muncul bentuk drama yang lain, dan para penulis drama juga memodifikasi kedua bentuk yang tradisional itu. Shakespeare membagi dramanya menjadi komedi, tragedi, dan sejarah, dan yang terakhir menyajikan sejarah nasional dalam bentuk drama. Dia juga berangkat dari praktek drama klasik dengan menyuguhkan adegan-adegan lucu dalam tragedinya. Di Italia, para kritikus dan penulis drama tetentu mulai menggabungkan berbagai aspek dan elemen kedua bentuk drama itu untuk menciptakan bentuk drama yang ketiga, yang kemudian disebut tragikomedi. Gabungan aneka macam mood akhirnya menjadi lebih umum di abad kesembilan belas dan dua puluh.
Setelah masa Renaissance istilah komedi dan tragedi tetap penting meskipun para penulis memasukkan aspek-aspek dan elemen-elemen dari masing-masing drama dan bahkan menggabungkannya. Tragedi tetap menjadi genre yang paling sering digunakan untuk mengeksplorasi aneka pertanyaan filosofis tentang mana yang jahat dan mana yang baik dan tentang keberadaan dan peran manusia di alam semesta ini, sementara komedi lebih menekankan pada aspek-aspek sosial dan hubungan antar manusia. Pembagian ini membuat komedi lebih cocok untuk mengomentari berbagai masalah dan kritik sosial maupun sebagai hiburan yang sederhana. Komedi yang menekankan pada guyonan yang cerdas dan gaya yang berkelas serta disuguhkan untuk golongan kelas atas disebut komedi tingkat tinggi atau comedy of manners, kebalikan dari komedi rendahan atau farce. Komedi rendahan menggunakan humor fisik yang kadang bisa berubah jadi kekejaman dan juga banyolan-banyolan atau dagelan-dagelan yang kasar atau ejekan untuk mencapai efek yang diharapkan, jadi tidak menggunakan kata-kata lucu yang cerdas atau nuansa tertentu dari suatu perilaku sosial.
Sebagai bentuk populer yang rendah nilai sastranya, farce juga sudah ada dalam perkembangan drama klasik Yunani. Bentuk yang mirip dengan farce waktu itu adalah tragedi dengan daya tarik populer yang disebut melodrama, muncul dan dikenal sebagai jenis teater abad kesembilan belas (meskipun para kritikus modern menggolongkan drama-drama karya Euripides juga sebagai melodrama). Seperti farce, melodrama selalu berkaitan dnegan aksi fisik. Di abad kedelapan belas, bersamaan dengan semakin berkembangnya ketertarikan mengeksplorasi emosi manusia, berkembang pula komedi sentimentil. Komedi ini menekankan pada perasaan bukannya pada bagaimana membuat audiens tertawa. Yang lebih penting adalah bagaimna menarik simpati audiens terhadap para tokoh dan perjuangan mereka. Bentuk-bentuk baru meliputi pula tragedi yang mengetengahkan kehidupan masyarakat dari golongan kelas menengah dan drama-drama serius tentang kehidupan kelas menengah itu, yang sering kali disebut drama saja. Pada abad kedua puluh drama klas menengah ini menggantikan tragedi dan menjadi bentuk drama serius untuk teater-teater.
Tujuan-tujuan Drama
Di berbagai tempat dan masa yang berbeda, fungsi drama juga beraneka ragam pula. Penulis Romawi, Horatio, dalam salah satu pernyataannya yang sangat terkenal tentang tujuan sastra secara umum dan khusus, mengatakan bahwa drama ditulis untuk "membahagiakan sekaligus memberi instruksi." Kadang tujuan drama sudah dianggap yang pertama dari keduanya, kadang yang kedua, namun pada umumnya dalam kadar tertentu kedua tujuan itu ada semua.
Sejak jaman dahulu hingga masa Renaissance drama sangat dikaitkan dengan observansi keagamaan yang utama dan sengaja disuguhkan untuk mendukung keduanya. Alhasil, drama-drama yang ada lebih menekankan pada tujuan menginstruksikan. Dimasa Renaissance contoh-contoh teater yang ada di sekolah-sekolah dan universitas murni instruksional dan juga cointoh-contoh yang murni hiburan dalam teater-teater populer dalam fair-fair dan di pasar-passar, dan berbagai macam variasi kombinasi keduanya. Drama populer yang menekankan hiburan yang berupa pertunjukan dalam drama murahan maupun folk drama abad kedelapan belas dan sampai drama-drama utama yang ditawarkan oleh teater-teater komersial masa kini. Kebanyakan yang lebih serius lagi, drama sastra abad kedelapan belas dan setelahnya berusaha memberi informasi dan pemikiran serta pandangan yang lebih baik mengenai berbagai isu politik, sosial, dan moral. Penting sekali diingat bahwa drama juga merupakan sebuah karya seni, dan selain bisa menawarkan hiburany yang santai juga pengalaman yang lebih canggih lagi mengenai kenikmatan estetis. Pada awal abad kedua puluh pergerakan seni teater menekankan pada tujuan ini, yaitu dengan menampilkan drama yang tujuan utamanya tidak lain pengalaman estetis dan artistik, bukannya hiburan semata atau instruksi.
Audience bersedia nonton suatu pementasan drama karena gabungan motivasi yang bermacam-macam, termasuk rasa ingin tahu atau penasaran, dan hasrat untuk memperoleh suatu pengetahuan, mencari kesenangan, dan hasrat memperoleh pengalaman dan pengetahuan seni dan keindahan. Namun, semua pengalaman ini akhirnya diintensifkan oleh harkat drama yang pada dasarnya untuk publik. Karena drama merupakan karya sastra yang dirancang untuk dipentaskan di hadapan publik, menulis naskah drama seringkali juga berarti mengkesploraasi agar drama tersebut bisa terkait dnegna segala yang terjadi di dalam masyarakat. Banyak pakar menyanggah bahwa sebagai seni yang merefleksikan kepedulian sosial di hadapan sekelompok audiens, drama terutama sangat cocok untuk mendorong terjadinya berbagai perubahan sosial. Banyak pakar lain yang juga menyangkal bahwa dengan berorientasi kepada kelompok maka untuk bisa sukses sebuah drama tidak boleh menentang asumsi umum audiensnya. Meskipun para kritikus sependapat bahwa potensi drama yang revolusioner, namun kebanyakan setuju bahwa tujuan pokok sebah drama selalu menyediakan sarana masyarakat merefleksikan diri dan keyakinannya.
Drama Elizabethan, Jacobean, dan Restorasi di Inggris
Drama kalsik dan drama yang akhirnya memformulasikan aturan-aturan yang canggih bagaimana menulisnya akhirnya secara bertahap tersebar di Eropa. Tapi, untuk masing-masing negara hasilnya berbeda-beda. Sekolah-sekolah dan universitas-universitas di Inggris justru mengambil ide-ide yang berkembang di Italia pada pertengahan abad keenambelas. Pada akhir abad tersebut, praktek drama klasik bergabung dengan praktek teater medieval dan berbagai macam tradisi populer lainnya menghasilkan jenis drama baru yang lebih kompleks di Inggris. Bentuk ini mencapai puncaknya dalam karya-karya dramawan terkenal sepanjang masa, antara lain William Shakespeare.
Pada tahun 1580-an sekelompok kaum terpelajar, kadang disebut the University Wits, mempersiapkan jalan bagi kejayaan Shakespeare. Anggota kelompok yang paling terkenal adalah penulis drama Christopher Marlowe and dramawan Thomas Kyd. Karya Marlowe The Tragical History of Doctor Faustus (1588?) dengan sangat menarik mengkombinasikan elemen-elemen drama medieval and Renaissance dengan gaya puitis yang kuat yang akhirnya membuat Marlowe menjadi sangat terkenal. Drama karya Kyd, The Spanish Tragedy (1589?), merupakan kesuksesan pertama yang paling besar di masa Renaissance Inggris dan mengawali tema dan stuktur tragedi yang berkembang kemudian, misalnya karya Shakespeare yang paling terkenal, Hamlet (1601?).
Menjelang akhir pemerintahan Ratu Elizabeth yang sangat panjang, yaitu dari tahun 1558 hingga tahun 1603, sebuah drama yang sangat terkenal dan dan brilian berkembang di Inggris, yang merupakan drama paling penting dan produktif di sepanjang sejarah. Bagi kita dimasa kini Shakespeare tampak mendominasi periode tersebut, padahal pada waktu itu sebenarnya reputasi rival-rivalnya juga sama tinggi atau bahkan melebihi dia, terutama Ben Jonson, Francis Beaumont, dan John Fletcher. Jonson, yang sangat terkenal dengan karyanya Volpone (1606; The Fox), merupakan dramawan yang karya-karyanya paling terkait dengan model-model klasik yang bermunculan kemudian. Karya-karyanya pulalah yang mendongkrak drama menjadi seni yang sangat bergengsi. Pada tahun 1616 dia menjadi penulis drama Inggris pertama yang mempublikasikan karya-karyanya, dan karenanya membuat publik memandang karya-karyanya sebagai karya sastra, bukan sekedar hiburan sesaat. Beaumont dan Fletcher terkenal karena karya-karya kolaborasi mereka, misalnya The Maid's Tragedy (1611?), meskipun mereka juga bekerja sendiri atau bekerjasama dengan para penulis lainnya. Fletcher pun bekerja sama dengan Shakespeare menggarap The Two Noble Kinsmen (1613?).
Setelah mangkatnya Ratu Elizabeth pada tahun 1603, ketegangan politik dan agama memuncak, dan dengan perlahan tapi pasti mengikis semanagt menggebu periode Elizabethan. Karya-karya drama periode Jacobean yang mengikutinya bernuansa lebih gelap dan pesimis. Inilah periode tragedi-tragedi besar Shakespeare, termasuk diantaranya Othello (1604?), tentang seorang suami yang membunuh istrinya karena terbakar rasa cemburu; King Lear (1605?), tentang seorang raja yang semakin tua yang secara tragis keliru menilai cinta putri-putrinya; dan Macbeth (1606?), tentang seorang tiran yang ambisius dan amoral. Bahkan komedi yang suram juga muncul dalam Measure for Measure (1604?), tentang seorang deputi yang korupsi. Karya-karya yang mencerminkan puisi yang kuat maupun pandangan akan dunia yang muram periode ini tampak dalam The Duchess of Malfi (1614?) karya John Webster dan ’Tis Pity She's a Whore (1633) karya John Ford. Dalam drama-drama Webster tokoh yang penting dibunuh oleh saudara-saudara laki-laki yang jahat karena telah menikahi seorang gadis kebanyakan. Drama-drama Ford berkisar pada hubungan antara kakak dan adik yang tidak rukun.
Ketidakstabilan politik dan relijius di Inggris memuncak sekitar masa perang saudara sampai tahun 1642, dan teater-teater idtutup sampai monarkhi kembali berkuasa pada tahun 1660. Selama periode Restorasi, yang mulai tahun 1660, banyak drama Renaissance muncul kembali dan banyak diminati, meski tampil dengan gaya yang baru. Pengaruh Pierre Corneille, penulis drama yang penting di Perancis pada tahun 1650-an membawa ke orientasi klasik tragedi yang puitis, yang disebut heroic tragedy. John Dryden, dramawan pertama masa Restorasi, menulis tragedi heroik yang berjudul The Conquest of Granada (1670), yang menyuguhkan nilai-nilai heroik seperti cinta yang ideal, kesetiaan dalam perang, dan ditampilkan dalam bait-bait yang bersajak.
Drama paling terkenal pada masa tersebut adalah serangkaian komedi yang brilian yang mempopulerkan pola komedi khas Inggris masa itu yaitu komedi tingkat tinggi atau comedy of manners yang didasarkan pada percakapan yang witty dari tokoh-tokoh aristokrat. Master pertama gaya baru ini adalah George Etherege, dengan dramanya The Man of Mode (1676), dan William Wycherley, dengan The Country Wife (1675). Restorasi juga menjadi saksi pemunculan dramawati profesional pertama dai Inggris yang dipimpin oleh Aphra Behn. Komedi-komedinya yang populer juga menggunakan eleem-elemen dan ciri-ciri comedies of manners namun lebih menggantungkan efeknya pada plot-plot yang kompleks. Komedi-komedi jaman Restorasi mencapai ekspresinya yang paling sempurna dalam drama The Way of the World (1700) karya William Congreve, yang didominasi oleh pasangan yang brilian dan witty.
DRAMA ABAD KESEMBILAN BELAS
Pada awal abad kesembilan belas, para dramawan membuat keputusan yang memang disadari untuk memisahkan diri dari tradisi-tradisi sebelumnya. Tendensi menuju Realisme dan penampilan situasi dan tokoh-tokoh yang dikenal oleh audiens benar-benar berkembang sepanjang abad itu.
Aliran Romantik
Bersamaan dengan mulainya abad kesembilan belas, sebuah gerakan sastra baru muncul di Jerman, yaitu alirang Romantik. Aliran ini menekankan individualism, ekspresi subyektif, dan imaginasi. Dalam teater, para pengikut aliran Romantik menolak keterbatasan aliran Neoklasik terutama yang terdapat dalam drama-drama Perancis, termasuk tiga kesatuan, pemisahan genre yang sangat ketat, dan motivasi konvensional yang dilandasi oleh nalar dan etika. Para penulis biasanya menganggap Voltaire dan Racine sebagai contoh terkemuka pendekatan Neoklasik, dan mereka memandang karya-karya Shakespeare sebagai model percontohan. Pada sekitar tahun 1830-an, ide-ide Romantik mendominasi drama dan sastra Eropa. Dramawan terkemuka Jerman pada awal abad kesembilanbela, Friedrich von Schiller dan Johann Wolfgang von Goethe, telah membantu meletakkan dasar untuk karya-karya Romantik diakhir abad kedelapan belas dengan drama-drama yang menekankan emosi dan kebebasan pribadi. Meskipun para dramawan itu akhirnya menjauhkan diri dengan para pengikut aliran Romantik dieranya, pengaruhnya tetap jelas terlihat dalam karya-karya yang terkenal. Tulisan Schiller, Maria Stuart (1800) mengetengahkan dua pahlawan wanita yang menyendiri—Queen Elizabeth I dan Mary, Queen of Scots—di sebuah dunia yang penuh permusuhan. Karya masterpiece karangan Goethe yang berjudul Dr. Faustus menekankan pada hak individu mempertanyakan apa saja dengan bebas dan mengubah nasibnya sendiri. Trgedi psikologis yang sangat kompleks yang ditulis oleh Heinrich von Kleist, including Prinz Friedrich von Homburg (1811; The Prince of Homburg), juga menunjukkan impak aliran Romantik. Penulis drama awal abad ke-19 dari Inggris, Joanna Baillie, juga memasukkan kualitas-kualitas khas aliran Romantik dalam drama-dramanya yang mayoritas berupa tragedi sejarah, misalnya De Monfort (1800), dengan menekankan pada emosi para karakternya. Kebanyakan penyair Romantik yang terkenal juga menulis drama namun seumur hidup mereka, hanya karya mereka yang berupa puisi saja yang ditampilkan dalam khasanah sastra: Marino Faliero (1821) oleh Lord Byron.
Para penulis Perancis menolak mentah-mentah aliran Romantik sampai mereka benar-benar terkesan oleh keberhasilan Hernani (diterjemahkan tahun 1830) oleh Victor Hugo. Sejak itulah drama-drama Romantik mencapai jaman keemasan mereka, termasuk di dalamnya yang berjudul Antony (1831) karya Alexandre Dumas dan Chatterton (1835); karya Alfred de Vigny. Meskipun drama-drama Hugo, Dumas, and Vigny mendominasi periode ini, namun komedi-komedi cinta sangat menyenangkan. Karya-karya Alfred de Musset, seperti misalnya Les Caprices de Marianne (1851; Marianne, (1905), yang pada awalnya diabaikan orang, akhirnya menjadi drama-drama populer.
Melodrama
Drama-drama awal abad kesembilanbelas menampilkan tokoh orang kebanyakan (bukan keluarga kerajaan atau bangsawan) dan memadukannya dengan elemen-elemen aliran Romantik antara lain pentingnya emosi dan cara pandang tertentu. Jenis drama ini kemudian disebut melodrama, dimana penulis memanipulasi peristiwa-peristiwa dan emosi dengan agak mengesampingkan logika dan karakter. Melodrama yang pertama kali muncul adalah karya René Guilbert de Pixérécourt yang berjudul Victor ou l'enfant du forêt (Victor, or the Child of the Forest, 1798). Selkama bertahun-tahun Pixérécourt dan rivalnya, Victor Ducange, mendominasi genre yang populer di Perancis dengan drama-drama seperti Trente ans ou la vie d'un joueur (1827; The Gambler's Fate).
Thomas Holcroft menegakkan tradisi melodramaInggris pada tahun 1802 dengan drama berjudul A Tale of Mystery, terjemahan dari drama Pixérécourt yang berjudul Coelina (1800). Melodrama Inggris, yang mencontoh rama-drama Perancis, cenderung mengetengahkan topik-topik supernatural atau kisah cinta yang erotis. Namun, pada tahun 1820-an, topik-topik yang lebih umum dan dekat dengan permasalahan sehari-hari mulai bermunculan. Ikatan kuat masyarakat Inggris dengan laut juga tercermin dalam aneka melodrama mengenai para pelaut dan kekasih mereka. Yang paling terkenal adalah melodrama karya Douglas William Jerrold yang berjudul Black-Eyed Susan (1829). Melodrama yang lebih dikenal umum adalah cerita-cerita sekitar kehidupan rumah tangga, bentuk yang dikembangkan pertama kali oleh seorang penulis drama bernama John Baldwin Buckstone. Drama pertamanya yang terkenal adalah Luke the Labourer (1826). Setengah abad kemudian, melodrama yang mendominasi panggung-panggung teater Inggris antara lain drama-drama karya Dion Boucicault, yang pada masa-masa produktifnya bolak-balik Inggris dan Amerika. Karya Boucicault , The Octoroon (1859) dengan bagus mengkombinasikan ketegangan rasial di Amerika dengan intrik-intrik melodramatis dan pandanagan akan teknologi modern.
Drama yang Lebih Modern
Aliran Romantik mencapai kesuksesan paling besar di teater-teater Perancis. Penulis drama ternama Eugène Scribe mengembangkan jenis drama lain yang ternyata jauh lebih berpengaruh. Scribe, yang telah menulis lebih dari 300 drama, menyempurnakan drama yang disebut the well-made play. Dalam drama tersebut, Scribe dengan seksama mempersiapkan audiens menghadapi emosi yang ingin dia timbulkan, kejadian dengan sekuens sebab-akibat yang dia tampilkan, berbagai suspense yang dia bangun dan juga aneka pemutarbalikan yang mengejutkan, serta tentu saja klimaks yang dibangun dengan cermat. Meskipun berbagai kritikus melihat kesuksesan Scribe merosot terutama karena karyanya Le verre d'eau (1840; A Glass of Water) yang, ibarat sebuah mesin, cacat sejak dari ide pembuatannya hingga karakternya. Namun akhirnya Scribe berhasil membuat para pakar drama yang sangat tinggi reputasinya di Perancis menaruh perhatian besar pada bentuk drama yang dikembangkannya itu.
Penerus langsung Scribe adalah Victorien Sardou, salah satu dramawan populer di abad kesembilan belas. Dia mengorbitkan aktor ternama dalam periode itu, antara lain Sarah Bernhardt berkat dramanya La Tosca (1887). Para penulis farce juga menyukai konstruksi dramanya yang cermat dan intrik yang menantang dari well-made play. Orang-orang Perancis kemudian memperkenalkan farce ini melalui drama-drama terbesar dalam era itu yang penuh dengan intrik yang rumit, antara lain Le chapeau de paille d'Italie (1851; A Leghorn Hat, 1917) by Eugène Labiche and Hôtel du Libre-Échange (1894; Hotel Paradiso, 1957) by Georges Feydeau.
Realisme dan Drama Sosial
Pada sekitar pertengahan abad kesembilanbelas para dramawan Eropa mengembangkan minat mengangkat kehidupan yang ada dengan lebih apa adanya dan akurat, bahkan kadang dengan pesan-pesan sosial yang langsung diungkapkan atau dibuat tersirat. Drama seperti ini disebut drama sosial atau drama yang di Perancis dipelopotri oleh Émile Augier dan Alexandre Dumas fils (junior). Dumas fils' La dame aux camélias (1852; The Lady of the Camellias, 1897) sukses di kancah international. Meskipun demikian, pengangkatan emosional seorang wanita dengan moral yang dipertanyakan telah memberi Augier sebuah inspirasi menampilkan jawaban yang lebih gelap lagi dalam karyanya Le mariage d'Olympe (1855; The Marriage of Olympe), sebuah potret kehidupan seorang pelacur yang jauh lebih realistis. Di Jerman, Friedrich Hebbel, meskipun berangkat sebagai dramawan yang beraliran Romantik, berubah haluan dan menelorkan karya RJealisnya yang sangat terkenal, tragedi Maria Magdalena (1844), yang mencerminkan sikap hati orang-orang kelas menengah terhadap perkawinan dan moralitas. Meskipun melodrama Inggris yang terkenal biasanya menjadi lebih realistis namun pada abad ke-19 dramawan Inggris yang bisa dianggap realis hanyalah Tom Robertson. Dalam karyanya Society (1864) dan karya-karya lainnya, dia sangat jeli memperhatikan penggunaan bahasa sehari-hari pergaulan sehari-hari sehingga dramanya disebut cup and saucer dramas.
Aleksander Ostrovsky, penulis drama profesional pertama di Russia, menetapkan bahwa realisme merupakan model drama utama di negerinya, baik dalam bentuk komedi (Les, 1871; The Forest) maupun tragedi (Groza, 1860; The Thunderstorm). Penyumbang drama realis Russia lainnya adalah Ivan Turgenev, yang karya-karyanya antara lain Mesiats v derevne (1850; A Month in the Country), sebuah studi perspektif mengenai aristokrasi.
Naturalsime, Simbolisme, dan Drama-drama Abad ke -19 Lainnya
Begitu memasuki tahun 1870-an drama realis yang diperkenalkan pada tahun 1850-an mulai tampak ketinggalan jaman dan artifisial. Para dramawan dan ahli teori drama sebuah generasi baru mencoba mencari bentuk lain yang bahkan akan mampu merepresentasikan tekstur kehidupan sehari-hari dengan lebih mirip. Realisme membuka jalan bagi Naturalism, yang dipelopori oleh seorang penulis Perancis bernama Émile Zola. Dalam beberapa drama dan esei yang ditulisnya, Zola berusaha mencari sebuah bentuk drama yang bisa menerapkan berbagai metode penulisan ilmu pengetahuan ke dalam drama, meneliti dan merekam perilaku manusia dengan obyektif dan cermat seperti seorang ilmuwan di labnya. Drama yang bisa menerapkan pendekatan Zola adalah Thérèse Raquin (1873), yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama pada tahun 1867.
Hampir bersamaan dengan tulisan-tulisan Zola, seorang penulis drama dari Norwegia, Henrik Ibsen, mulai menulis serangkaian drama yang akan menjadi peletak dasar drama modern. Kebanyakan karya-karya awal Ibsen kembali mengacu ke aliran romantik, misalnya karyanya Peer Gynt (1867; yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1892), dengan tegas menampilkan karya Goethe, Faust. Pada akhir tahun 1870-an, karyanya berbnalik arah seratus delapan puluh derajat, misalnya Et dukkehjem (1879; A Doll's House, 1889) dan Gengangere (1881; Ghosts, 1888). Drama-drama ini mirip dengan kesediaan para penganut Naturalisme menampilkan materi-materi yang mengejutkan yang pada mulanya dianggap tidak sesuai untuk teater—kesetaraan perempuan dalam A Doll’s House dan penyakit seksual dalam drama Ghosts Dalam segi bentuk karya-karya tersebut sealiran dengan Scribe dan merupakan well-made play, sementara secara umum, dilihat dari gaya dan kepeduliannya pada masalah sosial, drama-drama Ibsen tersebut senada dengan apa yang digarap oleh para dramawan Realis di tahap-tahap awal mereka.
Karya-karya Realis garapan Ibsen dibaca dan diterbitkan atau diproduksi secara luas (meskipun sering disensor di sana-sini), dan ditiru diseluruh Eropa. Karya-karya tersebut telah membangkitkan generasi drama baru. Di Jerman, Gerhart Hauptmann menciptakan studi yang sangat berpengaruh tentang masyarakat kontemporer misalnya Die Weber (1892; The Weavers), yang menampilkan kehidupan dan nasib sekelompok petani. Di Swedia, August Strindberg menegakkan reputasinya dengan drama Realis berjudul Fadren (1887; The Father) dan Fröken Julie (1888; Miss Julie). Di Spanyol, José Echegaray mebjadikan drama Ibsen Ghosts sebagai model dramanya berjudul El hijo de Don Juan (1892; The Son of Don Juan, 1895). James A. Herne membawa Realisme baru dan kedalaman psikologis dalam drama ke Amerika dengan karyanya Margaret Fleming (1890), sebuah drama tentang hubungan antara seorang suami yang tidak setia dengan isterinya. Di Inggris, sebuah aliran baru drama sosial yang serius muncul berkat inspirasi dari drama-drama Ibsen. Pelopor kelompok ini antara lain Henry Arthur Jones dengan dramanya The Liars (1897), dan Arthur Wing Pinero, yang karyanya The Second Mrs. Tanqueray (1893) menampilkan seorang wanita yang tidak mampu melarikan diri dari masa lalunya yang begitu gelap. George Bernard Shaw juga mulai karir menulis dramanya dengan pengaruh Ibsen dengan karya pertamanya, Widowers’ Houses (1892), sebuah drama yang mencerca Kapitalisme.
Shaw menganggap Eugène Brieux dari Perancis sebagai seorang penulis drama paling hebat di Eropa sesudah Ibsen; dan problem-problem studi sosial yang mengejutkan yang ditampilkan Brieux sesungguhnya telah memberi ide Ibsen, terutama karyanya Brieux's Les avariés (1902; Damaged Goods, 1912), yang memaparkan penularan penyakit kelamin. Namun semakin sebuah drama ditampilkan secara naturalistis semakin drama tersebut mendapat tanggapan dari penulis Perancis lain, Henri Becque, melalui drama-dramanya Les corbeaux (1882; The Vultures, 1913). Sumbangan drama naturalis lain yang juga penting adalah Vlast’ tmy (1888; The Power of Darkness), sebuah tragedi tentang para petani yang ditulis oleh Leo Tolstoy dari Russia, meskipun kebanyakan dramawan Russi pada masa tersebut didominasi oleh Anton Chekhov. Studi mendalam yang dilakukan Chekhov terhadap kehidupan sehari-hari di berbagai belahan Rusia, misalnya Chaika (1896; The Sea Gull, 1912), sangat terpengaruh oleh tradisi Realisme yang dikembangkan di Rusia oleh Ostrovsky dan Turgenev, meskipun mereka merdeka menciptakan sebuah tone yang unik.
Walaupun Realisme tetap menjadi gaya dominan sepanjang abad ke-20, para penulis individual dan berbagai gerakan secara beruntun bermunculan menentangnya. Sekelompok penulis drama menjelang akhir abad ke-19 berusaha kembali ke bahasa puitis dan cara pandang teater Romantik, namun hanya Edmond Rostand yang memperoleh kesuksesan yang panjang dengan karyanya Cyrano de Bergerac (1897; diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris pada tahun 1898). Tantangan yang cukup berarti terhadap Realisme semakin besar dengan munculnya symbolisme, yang dikembangkan untuk menanggapi obyektifitas dan rasionalitas keilmuan yang didengung-dengungkan oleh aliran Naturalisme. Para penganut Simbolisme, sebaliknya, menyatakan bahwa imajinasi merupakan penerjemah realita yang sesungguhnya. Ibsen mulai berbalik menjadi lebih Simbolis, bahkan dalam karya-karyanya selanjutnya ia lebih mistis, mulai dengan Bygmester Solness (1892; The Master Builder, 1893), seperti juga Hauptmann, yang memulai dengan karyanya Hanneles Himmelfahrt (1893; Hannele, 1894). Di Jerman, Frank Wedekind memadukan Realisme dan Simbolism dalam drama pertamanya yang sangat penting, Frühlings Erwachen (1891; The Awakening of Spring, 1909). Para dramawan yang mengaitkan diri dengan aliran Simbolism juga bermunculan, antara lain Maurice Maeterlinck dari Belgia, yang karya-karya medieval dan mistiknya, Pelléas et Mélisande (1892; diterjemahkan pada tahun 1892) menjadi semacam model bagi gerakan baru tersebut. Yang tidak terlalu tipikal adalah sebuah satir Grotesque berjudul Ubu Roi (1896; diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris pada tahun 1951) yang ditulis oleh Alfred Jarry, yang subversi tegasnya terhadap model teater tradisional akhirnya memelopori munculnya drama-drama dengan aliran Surrealis, Dadais, dan Absurd di Perancis. Di Italia, Gabriele D'Annunzio mendapat pengaruh dari Maeterlinck untuk menciptakan serangkaian drama simbolis, termasuk diantaranya, La città morta (1898; The Dead City, 1900), yang kebanyakan ditulis untuk aktor besar Italia, Eleonora Duse.
William Butler Yeats, penulis terkenal dalam kesusasteraan Inggris yang berasal dari Irlandia, membawa pengaruh tersebut ke Irlandia dan ke dalam drama-drama pertamanya, antara lain The Shadowy Waters (1900 Yeats benar-benar berkutat dengan perjuangan nasional Irlandia, yang secara signifikan berpengaruh pada drama awal tahun abad berikutnya. Oscar Wilde menampilkan contoh langka drama Inggris yang dipengaruhi oleh Simbolism dengan karyanya Salomé (1893), namun dia lebih terkenal karena gaya humor dan komedinya yang intelek, The Importance of Being Earnest (1895).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar